MENYAMBUT RAMADHAN DENGAN PUASA SUNNAH

oleh -1178 Dilihat
oleh

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةِ رضي الله عنه قاَلَ : قَالَ رَسُوْلُ الله  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ , أَوْ يَوْمَيْنِ إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan berpuasa satu hari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka (tidak mengapa) ia berpuasa.
HADITS INI DIRIWAYATKAN:
Imam al-Bukhâri, no. 1914; Muslim, no. 1082; Abu Daud, no. 2335; At-Tirmidzi, no. 685; An-Nasa’i 4/149, 154; Ibnu Majah, no. 1650; Al-Baghawi, no. 1718; Ibnul Jârûd 378; Al-Baihaqi, 4/207; Ahmad 2/234, 237, 408, 438; Ibnu Hibbân, no. 3586, 3592; Abdur Razzâq, no. 7315; Ibnu Abi Syaibah, 3/23; Ad-Dârimi 2/4.
PENJELASAN HADITS:
* Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengatakan: Ramadhan tanpa menyebut kata (bulan diawalnya), tanpa ada kemakruhan. Dan inilah yang shahih, baik ketika ada qarînah (indikator) yang menunjukkannya ataupun tidak ada. Ada pendapat yang mengatakan bahwa itu dimakruhkan, kecuali bila diucapkan bergandengan dengan kata bulan. Ada hadits yang menunjukkan hal itu, akan tetapi hadits tersebut dha’if.
Ada lagi pendapat lain yang mengatakan, bila ada qarinah yang menunjukkan bulan, maka itu tidak dimakruhkan. Kalau tidak ada qarînah, maka dimakruhkan.
* Dalam hadits ini terdapat penegasan larangan untuk memulai satu atau dua hari sebelum Ramadhan dengan berpuasa sunnah yang bukan menjadi kebiasaannya. Yaitu ketika itu dilakukan dalam rangka kehati-hatian terhadap masuknya bulan Ramadhan. Konsekuensi dari hal ini adalah boleh berpuasa 3 atau 4 atau 5 hari sebelum masuk Ramadhan. Ini adalah yang menjadi konsekuensi ucapan al-Bandaniji dan Ibnu ash-Shabbagh dari kalangan Ulama Syâfi’iyyah.
Mengenai puasa sunnah menjelang Ramadhan, para Ulama syafi’iyah terbagi dalam empat  pendapat:

  1. Pendapat yang disebut di atas.
  2. Bila telah menginjak pertengahan bulan Sya’ban , diharamkan berpuasa. Pendapat inilah yang diputuskan oleh para ahli tahqiq dari kalangan Ulama syafi’iyah. Ini berdasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانَ فَلَا تَصُومُوا
Bila Sya’ban telah berada di pertengahan, maka janganlah kalian berpuasa!.”[2]
Hadits ini diriwayatkan para penyusun Kitab Sunan yang empat dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibbân.
Ulama yang berpendapat seperti ini memberikan jawaban terhadap hadits Abu Hurairah yang disebutkan di awal. Yaitu bahwa ucapan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(jangan kalian dahului) dengan satu hari atau dua hari” itu tidak menunjukkan makna pilihan (yaitu memilih dengan tidak mendahului satu hari atau dua hari). Akan tetapi itu hanyalah untuk menjelaskan adanya larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa sebelumnya. Karena biasanya itulah yang  dilakukan dan yang terjadi pada orang yang bermaksud menyambut bulan Ramadhan. Rentang waktu larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah sejak pertengahan Sya’ban, seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terakhir tadi.

  1. Hal itu boleh, tidak dimakruhkan. Ini yang diputuskan oleh al-Mutawalli. Ia berkata mengenai hadits yang dibawakan di atas (yaitu mengenai hadits pertengahan Sya’ban), bahwa hadits tersebut tidaklah valid menurut pandangan para ahli.[3]
  2. Dimakruhkan karâhah tanzîh(dilarang syara’, namun bukan keharusan. Yang melakukannya tidak disiksa karenanya). Ini dipilih ar-Rauyâni.

* Sebagian Ulama menyebutkan bahwa hikmah larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa adalah untuk menjaga stamina dan kekuatan dalam berpuasa Ramadhan. Namun ini tidak tepat. Karena bila hal itu menyebabkan lemah dalam berpuasa dalam Ramadhan, maka berpuasa selama bulan Sya’ban lebih-lebih membuat lemah (untuk puasa Ramadhan). Padahal telah terjadi ijma’ dibolehkannya berpuasa pada bulan Sya’ban keseluruhannya, bahkan hal tersebut sunnah. Para penyusun Kitab Sunan yang empat telah meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa, “Tidak pernah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan penuh dari suatu tahun kecuali Sya’ban, di mana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambungnya dengan Ramadhan.”[4] At-Tirmidzi berkata, “(Hadits ini) hasan.”
Al-Mâziri membawa pengertian larangan tersebut pada orang yang berpuasa dalam rangka pengagungan dan sambutan terhadap bulan Ramadhan. Artinya itu dilarang, agar suatu ibadah tidak ditambahi sesuatu yang bukan bagian dari ibadah tersebut. Adapun bila berpuasa pada hari syakk (hari yang diragukan antara Sya’ban dan Ramadhan) sebagai puasa sunnah belaka, maka ada perselisihan di dalamnya. Seperti yang akan disebutkan nanti.
* Sebagian Ulama menyebutkan: bahwa zahir hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu di awal pembahasan ini bertentangan dengan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertanya kepada seseorang:
هَلْ صُمْتَ مِنْ سُرَرِ شَعْبَانَ شَيْئًا
Apakah engkau ada berpuasa sesuatupun pada akhir Sya’ban?
Ia menjawab, “Tidak.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bila engkau telah berbuka (yakni usai melaksanakan puasa Ramadhan), maka berpuasalah satu hari.”[5] Dalam riwayat lain: “dua hari.” Ini diriwayatkan Al-Bukhâri dan Muslim dari hadits Imran bin al-Hushain Radhiyallahu anhu .
Yang dimaksud dengan surar Sya’ban adalah akhirnya. Karena hilal (bulan sabit) akan menyembunyikan diri pada satu atau dua malam terakhir.
Namun dua hadits ini bisa dikompromikan, bahwa orang tersebut telah mewajibkan dirinya untuk berpuasa akhir bulan karena ia telah bernadzar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memenuhinya. Atau bisa juga karena berpuasa akhir bulan sudah menjadi kebiasaannya, lalu ia tinggalkan dalam rangka menyambut Ramadhan, karena ada larangan mendahuluinya (dengan puasa); dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin orang tersebut mengqadha’ nya, karena itu sudah menjadi kebiasaannya.
Sebagian Ulama lain berkata: Bahkan ucapan Nabi, “Apakah engkau berpuasa pada akhir Sya’ban?” adalah pertanyaan dalam rangka mengingkari dan melarang. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mendahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya. Sehingga tidak ada kontradiksi antara keduanya.
Kalau yang dimaksudkan dengan surar Sya’ban adalah awal bulan, seperti yang disebutkan sebagian Ulama, bahwa surar asy-syahr adalah awalnya, maka tidak ada kontradiksi diantara dua hadits tersebut.
*  Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kaum rafidhah, yang memandang perlunya mendahulukan puasa daripada melihat hilal Ramadhan. Karena Ramadhan adalah nama untuk sebutan untuk (rentang waktu) yang berada di antara dua hilal. Maka bila seseorang berpuasa satu hari sebelumnya, berarti ia telah mendahului Ramadhan (dengan berpuasa).
*  Di dalam hadits tersebut terdapat penjelasan makna hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah saat kalian melihatnya (hilal) dan berbukalah saat kalian melihatnya!
* Di dalam hadits ini tidak terdapat larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, bagi orang yang punya kebiasaan berpuasa di akhir-akhir bulan di luar Sya’ban. Sama saja, apakah kebiasaannya itu karena nadzar atau murni sebagai puasa sunnah. Hal itu masuk dalam  cakupan kemutlakan hadits tersebut. Dan di antara bentuk nadzar adalah kala seseorang berkata, “Aku bernadzar kepada Allâh untuk berpuasa pada hari datangnya si fulan.” Lalu kebetulan si fulan datang bertepatan dengan akhir Sya’ban sebelum Ramadhan.
* Termasuk dari yang dilarang adalah berpuasa pada hari syakk (hari yang meragukan), yaitu hari yang mana orang-orang masih memperbincangkan tentang apakah hilal benar-benar sudah terlihat atau belum?  Atau telah ada orang yang bersaksi bahwa dia telah melihat hilal, namun dia masih anak-anak atau budak atau orang yang fasik.
Para Ulama salaf telah berselisih pendpat tentang orang yang berpuasa sunnah (pada hari itu) dengan tanpa sebab.
Dan yang paling sah menurut Ulama kalangan Syafi’iyah adalah puasa sunnah tersebut terlarang.
Dan dalam madzhab Malikiyah terdapat tiga pendapat:
(Pendapat) yang ketiga dari pendapat-pendapat Malikiyyah adalah bagi orang yang punya kebiasaan menyambung puasa, ia boleh berpuasa pada saat itu, tapi tidak bagi yang lainnya. Dan menurut mereka, boleh berpuasa pada saat itu bagi orang yang telah bernadzar.
Sedangkan Ahmad dan sekelompok Ulama, mereka mewajibkan untuk berpuasa pada saat itu sebagai puasa Ramadhan, dengan syarat saat itu ada mendung (yang menghalangi terlihatnya hilal).
Footnote
[1] Pembahasan ini diringkas oleh redaksi dari kitab al-I’lam bi Fawa’id Umdatil Ahkâm, 5/158-170
[2] At-Tirmidzi, no. 738; Abu Daud, no. 2337 dalam kitab Shaum Bab Dimakruhkannya Hal Tersebut; Ibnu Mâjah, no. 1651; Ad-Darimi, 2/17; Ahmad, 2/442; Ibnu Hibbân, 3589; Al-Baihaqi, 4/209, Abdur Razzâq 7325
[3] Sebagian ulama ada yang melemahkan hadits ini, karena ‘Ala menyendiri dalam meriwayatkannya. Namun sebagian ulama lain, menilainya Shahih, tidak ada yang menodai keshahihannya. Imam Muslim juga mengeluarkan beberapa riwayat hadits dalam Shahihnya dari ‘Ala, dari ayahnya Abu Hurairah. Syaikh Al-Bani menilainya Shahih dalam Shahih al-Jami’ash-Shaghir wa Ziyadatuh no. 397 (red)
[4] HR. An-Nasa’i 4/150, At-Turmudzi 736 dalam Ash-shiyâm bab mengenai orang yang menyambung Sya’ban dengan Ramadhan, juga Ad-Darimi 2/17.
[5] Teks hadits yang dibawakan di atas, sesuai dengan salah satu riwayat Abu Daud. Dan sebagian riwayat ada tambahan: atau dua hari. Ini diriwayatkan al-Bukhâri, no.1983; Muslim, no. 1161; Abu Daud, no. 2231; Al-Baihaqi 4/210; Ad-Darimi 2/18; Ibnu Hibbân, no. 3587; Ahmad 4/428, 432, 439
[ Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M ].