Pada edisi terdahulu kami telah menjelaskan shalat Sunnah Rawâtib, yang pelaksanaannya sangat dianjurkan. Karena Sunnah Rawâtib itu sebagai pelaksanaannya sangat dianjurkan. Karena Sunnah Rawâtib itu sebagai pelengkap shalat fardhu lima waktu secara umum. Untuk mengetahui pelengkap shalat fardhu lima waktu secara umum. Untuk mengetahui kedudukan dan jenis-jenis shalat Rawâtib, kami mencoba untuk membahasnya secara menyeluruh meskipun singkat, insya Allah. Berikut kami mulai dengan pembahasan seputar shalat Rawâtib Subuh
HUKUM SHALAT RAWATIB SUBUH
Shalat sunnah Rawâtib Subuh termasuk shalat sunnah yang paling ditekankan. Rasulullah ﷺ senantiasa melakukannya dan tidak meninggalkannya, baik saat bepergian ataupun tidak.
Di antara dalil yang menunjukkannya, yaitu hadits Abu Maryam yang berbunyi:
كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللَّهِ فِيْ سَفَرٍ فَأَسْرَيْنَا لَيْلَةً فَلَمَّا كَانَ فِيْ وَجْهِ الصُّبْحِ نَزَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ فَنَامَ وَنَامَ النَّاسُ فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا بِالشَّمْسِ قَدْ طَلَعَتْ عَلَيْنَا فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ المُؤَذِّنَ فَأَذَّنَ ثُمَّ صَلَّى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Kami dahulu pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan, lalu kami berjalan saat malam hari. Ketika menjelang waktu Subuh, Rasulullah ﷺ berhenti dan tidur, dan orang-orang pun ikut tidur. Beliau tidak bangun kecuali matahari telah terbit. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan muadzin (untuk beradzan), lalu ia pun mengumandangkan adzan. Kemudian beliau ﷺ shalat dua raka‘at sebelum shalat Subuh, kemudian memerintahkan sang muadzin beriqamah, lalu beliau mengimami orang-orang (shalat Subuh). 1
Demikian juga Imam al-Bukhâri telah menyebutkan dalam kitabnya:
بَاب مَنْ تَطَوَّعَ فِيْ السَّفَرِ فِيْ غَيْرِ دُبُرِ الصَّلوَاتِ وَقَبْلَهَا وَرَكَعَ النَّبِيُّ ﷺ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِيْ السَّفَرِ
[Bab orang yang melakukan shalat tathawu’ (sunnah) dalam perjalanan pada selain waktu sesudah dan sebelum shalat fardhu (Rawâtib), dan Nabi ﷺ melakukan shalat dua rakaat al-Fajr dalam safarnya (bepergiannya)].2
Ibnul-Qayyim رحمه الله berkata,”Di antara petunjuk yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam safarnya, yaitu (beliau) mencukupkan diri dengan melaksanakan shalat yang fardhu, dan beliau ﷺ tidak diketahui melakukan shalat Sunnah Rawâtib sebelum dan sesudah shalat fardhu kecuali shalat witir dan Sunnah Rawâtib Subuh. Karena beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat itu, baik saat muqîm (tidak sedang bepergian) maupun saat bepergian”.3
Hal ini, juga sebagaimana nampak pada pernyataan ‘Aisyah yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ -رضي الله عنهما- قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ ص عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ- أَخرجه الشيخان
Dari ‘Aisyah رضي الله عنها , ia berkata, “Nabi ﷺ tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua rakaat (shalat Rawatib) Subuh”.4
Sehingga Ibnul-Qayyim pun berkata, “Kesinambungan dan penjagaan beliau ﷺ terhadap sunnah Rawâtib Subuh melebihi seluruh shalat sunnah. Beliau ﷺ tidak pernah meninggalkan sunnah Rawâtib Subuh dan shalat Witir dalam safarnya maupun saat muqîm. Dalam safar, beliau ﷺ senantiasa disiplin melaksanakan sunah Rawâtib Subuh dan Witir melebihi seluruh shalat-shalat sunnah dan Rawâtib lainnya. Tidak ada dinukilkan dari beliau dalam safarnya melakukan shalat Rawâtib selain Rawâtib Subuh. Oleh karena itu, dahulu Ibnu ‘Umar tidak menambah dari dua raka’at, dan ia berkata,’Saya telah bepergian bersama Rasulullah ﷺ , Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka semua dalam safarnya tidak melebihi dua raka’at’.”5
Dengan demikian jelaslah, bahwasanya hukum sunnah Rawâtib Subuh adalah sunnah muakkadad, dan termasuk Rawâtib yang sangat dianjurkan.
KEUTAMAAN SHALAT RAWATIB SUBUH
Keutamaan shalat Sunnah Rawâtib Subuh, secara umum dapat dilihat dalam hadits-hadits tentang keutamaan shalat Sunnah Rawâtib, namun ada juga beberapa hadits yang secara khusus menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib Subuh ini. Di antaranya:
- Hadits ‘Aisyah yang berbunyi:
عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ رَكْعَتَا الفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَافِيْهَا. أَخْرَجَه مسلم
Dari Nabi ﷺ , beliau bersabda,”Dua raka’at fajar (Subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.” 6
- Hadits ‘Aisyah lainnya yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنهما قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الفَجْرِ -أخرجه الشيخان
Dari ‘Aisyah رضي الله عنها , ia berkata, “Nabi ﷺ tidak melakukan satu pun shalat Sunnah yang dilakukan secara terus-menerus melebihi dua raka’at (shalat Rawâtib) Subuh”.7 Dalam dua hadits di atas, nampak adanya pernyataan dan perbuatan Rasulullah ﷺ , yang secara langsung menunjukkan keutamaan shalat Rawâtib ini.
- Hadits ‘Aisyah berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الفَجْرِ – أَخْرَجَهُ البخاري
Dari ‘Aisyah, sesungguhnya dahulu, Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.8
TATA CARA SHALAT RAWATIB SUBUH
- Shalat Rawâtib Subuh dua raka’at, dilakukan sebelum shalat fardhu Subuh sebagaimana shalat dua rakaat lainnya dengan satu salam.
- Shalat Rawâtib Subuh dilakukan dengan meringankannya/agak cepat.
Di antara petunjuk dan contoh Rasulullah ﷺ dalam melakukan dua raka’at Rawâtib Subuh, ialah dengan meringankannya, tidak memanjangkan bacaannya, dan dengan syarat tidak melanggar hal-hal yang wajib dalam shalat.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits berikut ini.
– Hadits Ummul-Mukminin Hafshah رضي الله عنها yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ المُؤْمِنِيْنَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ص كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ – أَخرجه الشيخان
Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata, bahwasanya Hafshah Ummul-Mukminin telah menceritakan kepadanya, sesungguhnya dahulu, bila muadzinselesai dari mengumandangkan adzan shalat Subuh dan waktu Subuh sudah nampak, maka beliau ﷺ shalat dua raka’at yang ringan sebelum iqamat shalat.9
– Hadits Ummul-Mukminin ‘Aisyah رضي الله عنها yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي رَكْعَتَينِ خَفِيْفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
Dari ‘Aisyah, beliau berkata: “Dahulu, Nabi ﷺ shalat dua raka’at yang ringan antara adzan dan iqamat shalat Subuh”.10
– Demikian juga beliau رضي الله عنهما menjelaskan ringannya shalat Nabi ﷺ disini dengan perkataanya:
كَانَ النَّبي ﷺ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى إِنِّيْ لأَقُوْلُ: هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟. أَخْرَجَهُ الشيخَانِ
Dahulu, Nabi ﷺ meringankan dua raka’at yang ada sebelum shalat fardhu Subuh, hingga aku bertanya: “Apakah beliau membaca al-Fatihah?”11
Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat dua raka’at sebelum shalat fardhu Subuh.12
- Bacaan setelah membaca surat al-Fatihah.
Sebagian orang berdalih dengan riwayat ‘Aisyah di atas, yang menunjukkan tidak disunnahkannya membaca surat atau ayat setelah al-Fatihah. Anggapan ini tidak benar, karena adanya beberapa riwayat yang menjelaskan bacaan surat atau ayat setelah membaca al-Fatihah dalam shalat dua raka’at sebelum shalat fardhu Subuh ini. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan adanya bacaan ayat sesudah membaca al-Fatihah.
– Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَرَأَ فِيْ رَكْعَتَيْ الفَجْرِ قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ – وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , sesungguhnya Rasulullah ﷺ membaca surat al-Kâfirûn dan al- Ikhlâsh dalam dua raka’at al-Fajr (dua raka’at Rawâtib Subuh).13
– Hadits Ibnu ‘Abbâs yang berbunyi:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ يَسَارٍ اَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَقْرَأُ فِيْ رَكْعَتَيْ الفَجْرِ فِيْ الأُوْلَى مِنْهُمَا قُوْلُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الآيَةَ الَّتِيْ فَيْ البَقَرَةِ وَفِي الآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا باللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مًسْلِمُوْنَ
Dari Sa’id bin Yasâr, bahwasanya Ibnu ‘Abbâs mengabarkan kepadanya, sesungguhnya dahulu, Rasulullah ﷺ membaca dalam dua raka’at al-Fajr; pada rakaat pertama membaca ayat:
قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا
yang terdapat dalam al-Baqarah/2 (ayat 136), dan pada raka’at kedua
اٰمَنَّا بِاللّٰهِ ۚ وَاشْهَدْ بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
(Ali ‘Imran/3 ayat 52). 14
– Hadits Ibnu Abas yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِيْ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُوْلُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أَنْزِلَ إِلّ=َيْنَا وَالَّتِي فِيْ آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Dahulu, Rasulullah ﷺ membaca dalam dua raka’at al-Fajr firman Allah: قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا (al-Baqarah/2 ayat 136), dan yang terdapat dalam Ali ‘Imran/3 (ayat 64): (قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ).15
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata,”Sunnah (Rawâtib) Subuh diberlakukan sebagai awal perbuatan dan witir sebagai penutupnya. Oleh karena itu, Nabi ﷺ melakukan shalat Sunnah (Rawâtib) Subuh dan witir dengan membaca surat al-Kaafirun dan al-Ikhlas. Kedua surat ini mengandung tauhid al-Ilmi wal-’Amal (tauhid Rububiyah), tauhid al-Ma’rifah (tauhid al-Asma wash-Shifat) dan tauhid al-I’tiqaad wal-Qashdu (tauhid al-Uluhiyah)”.16
- Berbaring Setelah Shalat Rawatib Subuh.
Di antara yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ setelah shalat Rawatib Subuh adalah beliau ﷺ berbaring miring di atas bagian kanan tubuh beliau n. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَيْ الفَجْرِ، فَلْيضْطَجِعْ عَلَى شِقَّةِ الأَيْمَنِ. أجرجه الترمذي
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang kalian mengerjakan dua rak’at al-Fajr, maka berbaringlah miring di atas bagian kanannya”.17
Dalam masalah berbaring ini, terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Mereka terbagi dalam enam pendapat.18
- Berbaring ini disyari’atkan secara sunnah.
Demikian ini pendapat Abu Musa al-Asy’ari, Râfi’ bin Khadîj, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Muhammad bin Sirîn, Sa’id bin al-Musayyib, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakar, ‘Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdur-Rahman bin ‘Auf, Khârijah bin Zaid bin Tsâbit, ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, Sulaiman bin Yasâr, dan begitu pula di kalangan madzhab Syâfi’i dan Hambali. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah tersebut, dan membawa makna perintah dalam riwayat tersebut kepada sunnah (istihbab) dengan didukung hadits ‘Aisyah yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا صَلَّى سُنَّةَ الْفَجْرِ، فَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً ؛ حَدَّثَنِيْ، وَإِلَّا؛ اِضْطَجَعَ حَتَّى يُؤَذَّنَ بِالصَّلَاةِ. أَخرجه البخاري
Sesungguhnya dahulu, jika Nabi ﷺ telah selesai melakukan shalat sunnah Subuh, apabila aku terjaga (tidak tidur-red) maka beliau mengajakku berbicara, dan bila (aku) tidak (sedang terjaga) maka beliau berbaring hingga shalat diiqamati.19
Dalam hadits ini dapat diketahui bahwa beliau ﷺ tidak berbaring apabila ‘Aisyah telah bangun, sehingga hadits ini bisa merubah makna perintah yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah رضي الله عنه , dari bermakna wajib berubah menjadi sunnah. Demikian juga, hadits ‘Aisyah ini menunjukkan bahwa beliau ﷺ terkadang tidak berbaring setelah melakukan Rawâtib Subuh. Seandainya wajib, tentu beliau ﷺ tidak akan meninggalkannya.
- Berbaring itu wajib dan harus dilakukan, bahkan beranggapan berbaring itu sebagai syarat sah shalat Subuh.
Inilah pendapat Abu Muhammad bin Hazm. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah رضي الله عنه diatas yang berisi perintah dan sifat perintah menunjukkan makna wajib. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah mengomentari pendapat Ibnu Hazm ini.
Syaikhul-Islam berkata : “Ini merupakan pendapat beliau seorang diri yang menyelisihi umat”.20
- Makruh dan bid’ah.
Ini pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar sebagaimana terdapat dalam satu riwayat, dan al-Aswad bin Yazîd, serta Ibrahim an-Nakhâ-i. Mereka berdalil, bahwa berbaring itu tidak pernah dilakukanRasulullah ﷺ di masjid. Seandainya pernah dilakukan, tentu akan dinukil secara mutawâtir.
- Menyelisihi yang lebih utama. Demikian yang riwayat yang datang dari al-Hasan al-Bashri.
- Berbaring ini disunnahkan bagi yang telah melakukan shalat malam pada hari itu, agar ia dapat beristirahat, dan tidak disyari’atkan pada selainnya. Demikian yang dirajihkan Ibnul-’Arabi dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, juga Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn.
Syaikh al-’Utsaimin berkata,”Pendapat yang râjih dalam masalah ini, ialah yang dirâjihkan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Yaitu yang dirinci, sehingga menjadi sunnah bagi orang yang sudah melakukan shalat malam, karena ia membutuhkan istirahat. Namun, bila termasuk orang yang bila berbaring di tanah dapat tidur dan tidak bangun kecuali setelah waktu yang lama, maka ini tidak disunnahkan baginya, karena dapat menyebabkannya meninggalkan kewajiban”.21
- Berbaring bukanlah inti yang dimaksud. Akan tetapi, yang dimaksud ialah memisahkan antara shalat Rawâtib dengan shalat Fardhu.
Demikian yang diriwayatkan dari pendapat asy-Syâfi’i. Tetapi, pendapat ini terlalu lemah, sebab pemisahan waktu dapat dilakukan dengan selain berbaring.
Menurut penulis, dari keenam pendapat di atas, yang rajih ialah pendapat yang pertama. Pendapat ini dirajihkan oleh Imam an-Nawawi, sebagaimana beliau رحمه الله telah berkata: “Yang terpilih adalah (disyari’atkan) berbaring dengan dasar zhahir hadits Abu Hurairah”.22
Demikian juga keumuman hadits ini mencakup umat Islam, apalagi didukung dengan keabsahan hadits Abu Hurairah sebagaimana dinilai shahih oleh Imam asy-Syaukani, dan juga Syaikh al-Albâni.
JIKA SESEORANG TIDAK SEMPAT SHALAT RAWATIB SUBUH PADA WAKTUNYA
Jika keadaannya seperti di atas, maka disyari’atkan bagi yang tidak sempat melakukanshalat Rawâtib qabliyah Subuh, untuk melaksanakannya setelah selesai shalat fardhu Subuh, atau setelah terbit matahari.
Hal ini didasarkan kepada dalil berikut ini.
Hadits Abu Hurairah رضي الله عنه yang berbunyi:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ -رَضي الله عنه- : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ : ” مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْشُ. أخرجه الترمذي
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه , Rasulullah ﷺ bersabda,”Barang siapa yang belum shalat dua rakaat qabliyah Subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari”.23
Perintah dalam hadits ini dialihkan maknanya kepada makna istihbaab dengan hadits lainnya yang berbunyi:
عَنْ قَيْسٍ بِنْ قَهْدٍ -رضي الله عنه-؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللَّهِ ﷺ الصُّبْحَ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ؛ سَلَّمَ مَعَهُ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ، وَرَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ”. أخرجه الترمذي
Dari Qais bin Qah-din رضي الله عنه , sesungguhnya ia shalat Subuh bersama Rasulullah ﷺ dan belum melakukan shalat dua raka’at qabliyah Subuh. Ketika Rasulullah ﷺ telah salam maka iapun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabiyah Subuh. Rasulullah ﷺ melihatnya dan tidak mengingkarinya.24
Jelas hadits ini menunjukkan boleh mengqadha dua raka’at qabliyah Subuh setelah shalat fardhu.
Demikian beberapa hukum seputar shalat Rawâtib Subuh. Mudah-mudahan bermanfaat.
Washalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Footnote:
1 HR an-Nasâ-i, kitab al-Mawaqif, Bab: Kaifa Yaqdhi al-Fâit minash-Shalat, no. 605. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan an-Nasâ-i. Syaikh berkata,”Shahîh dengan hadits Abu Hurairah berikutnya, dan selainnya.”
2 Shahîh al Bukhari dalam kitab al-Jum’at
3 Zâdul-Ma’âd (1/456).
4 HR al-Bukhari dan Muslim. (Akan datang takhrijnya).
5 Zâdul-Ma’ad (1/305).
6 HR Muslim, kitab Shalatil Musâfirin wa Qashriha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnatil-Fajr wal-Hatstsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fîhima, no. 725.
7 HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: Ta‘âhud Rak’atai al-Fajri waman Sammâha Tathawwu’an, no. 1169: Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân maa Yustahab ‘an Yaqra‘a fî hima, no. 724.
8 HR al-Bukhari, kitab al-Tahajjud, Bab: ar-Rak’atain Qabla Dzuhur, no. 1182.
9 HR al-Bukhâri, kitab al-Adzân, Bab: al-Adzân ba’dal-Fajr, no. 618. Muslim, kitab Shalatil-Musâfirîn wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 723.
10 HR al-Bukhari, kitab al-Adzan, Bab: al-Adzan ba’dal-Fajr, no 584.
11 HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Mâ Yaqra’ fî Rak’atai al-Fajr, no. 1171. Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 724. Lafadz ini milik al-Bukhari.
12 Lihat Shahîh Fiqhus-Sunnah (1/373).
13 HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfirin wa Qashruha, Bab: Istihbâb Rak’atai Sunnah al-Fajr wal-Hatsu ‘alaihima wa Takhfîfuhuma ‘alaihima wa Bayân mâ Yustahab ‘an Yaqra`a fî hima, no. 726.
14 Ibid., no. 727.
15 Ibid., no. 728.
16 Lihat Ibnul-Qayyim dalam Zâdul-Ma’ad (1/306). Kemudian Ibnul-Qayyim menjelaskan hikmah yang terkandung dalam dua surat tersebut.
17 HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja‘a fil-Idh-thijâ‘ ba’da Rak’atai al-Fajri, no. 420. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh Sunan Abu Dawud no. 1146.
18 Pembahasan ini diambil dari beberapa marâji‘, di antaranya: Syarhul-Mumti’ ‘ala Zâdul-Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin, Nailul-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbâr karya asy-Syaukani, Zâdul-Ma’ad karya Ibnul-Qayyim dan Shahih Fiqhus-Sunnah karya Abu Malik.
19 HR al-Bukhari, kitab at-Tahajjud, Bab: Man Tahadatsa ba’da ar-Rak’atain wa Lam Yadh-thaji’ no. 1161.
20 Pernyataan ini dinukil langsung oleh Ibnul-Qayyim dari beliau. Lihat Zâdul-Ma’ad (1/308).
21 Syarhul-Mumti’ (4/100).
22 Dinukil dari Nailul-Authar (3/25).
23 HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Ja‘a fî I’âdatihima ba’da Thulu’usy-Syamsi, no. 424, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133).
24 HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat, Bab Maa Ja‘a fî man Tafututhu ar-Rakâtân Qablal-Fajr Yushalihuma ba’da Shalat ash-Shubhu no. 422, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi (1/133).
Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M