JUAL BELI SALAM DAN SYARATNYA
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Istilah syar’i di negara ini berkembang pesat, khususnya yang berkaitan dengan dunia bisnis. Ini sejalan dengan perkembangan bisnis perbankan dan lembaga-lembaga keuangan syari’at. Istilah-istilah syar’i ini sebelumnya sangat jarang terdengar di telinga masyarakat umum. Diantara istilah itu adalah bai’us salam (jual beli dengan cara inden atau pesan). Bagi masyarakat umum, istilah bai’us salam terhitung istilah baru. Sehingga tidak mengherankan kalau kemudian banyak yang mempertanyakan maksud dan praktik sebenarnya dalam Islam.
Inilah yang mendorong penulisan artikel singkat ini. Semoga uraian singkat ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan kaum Muslimin umumnya.
.
PENGERTIAN BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM INDEN ATAU PESAN)
Kata salam berasal dari kata at-taslîm (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan as-salaf (السَّلَف) yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari. Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24]
Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran kontan dimajlis akad.[2] Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung.
Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan jenis jual beli lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini dinamakan juga as-salaf.
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad[3]
Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan ungkapan, “Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima ton beras kepadanya.”
Pembeli, yaitu Zaid dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam. Sedangkan penjual yaitu Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara pembayaran kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan barang yang dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang salam).[4]
HUKUM BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM PESAN)
Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyâsush shahîh).
a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-Baqarah/2:282].
Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân. (Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. (Hadits ini dishahihkan al-Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau t mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan al-Baihaqi 6/18).
Firman Allâh Azza wa Jalla diatas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai, baik pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah penyerahan barang maka itu dinamakan bai’us salam.[5]
b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :
قَدِمَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]
c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini, seperti diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah t menguatkan penukilan ijma’ ini. Beliau t menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal sepakat menyatakan as-salam itu boleh.”[6]
d. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu- menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”[7]
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu- mengatakan, “Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba dan seluruh larangan Allâh.[8]
KEBUTUHAN MASYARAKAT TERHADAP BAI’US SALAM
Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang yang memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang cukup untuk menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Mereka ini bisa menjual sampel produk mereka (sebelum ada produk dalam jumlah besar) dan mendapatkan uang kontan. Uang kontan ini bisa mereka manfaatkan untuk menyiapkan bahan baku dan biaya operasinal pengadaan produk, seperti untuk membeli bibit, alat, pupuk dan lain-lain; Bisa juga untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga selama proses pengerjaan produk tersebut. Kemudian setelah produk siap, mereka bisa menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah ditentukan. Apabila produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan mendapatkan produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam fihi) tidak boleh ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja [9].
Bila melihat praktik jual beli salam diatas, kita dapati kemaslahatan atau keuntungan akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh kemaslahtan dan keuntungan berupa :
1. Mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara halal. Sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usaha tanpa terlibat riba (bunga). Sebelum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang ini untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan cukup lama.
3. Tidak perlu upaya dan mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan produk, karena telah dibeli sebelumnya.
Pembeli pun memperoleh keuntungan dan manfaat, seperti :
1. Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat waktu.
2. Mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga lebih murah bila dibandingkan membeli saat membutuhkan barang itu, karena :
a. Pembeli telah memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan) tersebut, padahal bisa saja ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan lain. Sehingga pantas bila pembeli mendapatkan harga lebih murah.
b. Pembeli komitmen membeli produk tertentu padahal itu beresiko. Sebab bisa saja, ketika barang diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena stok barang banyak atau permintaan kurang.
c. Terkadang, pembeli terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan barang yang telah dipesan itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan pribadinya saja.
Dengan ini nampak jelas bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk menyatukan dua unsur penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan metode yang diterima semua pihak terkait dalam pembagian hasil.[10]
Namun perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing ikan di air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan modal cepat. Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal “memanfaatkan” jual beli salam sebagai sarana menekan harga barang hingga sangat terpuruk. Seandaianya bukan karena kebutuhan mendesak, tentu mereka menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa dibenarkan dan terlarang karena masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam keadaan terpaksa).
RUKUN JUAL BELI SALAM
Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu :
1. Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi
2. Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam).
3. Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis maupun terucap.
Contoh, perusahaan A di kota semarang memesan seratus mobil merek Toyota Saluna seri tertentu kepada perusahaan Toyota dengan membayar tunai 20 milyar rupiah di majlis akad (tempat transaksi) dengan perjanjian mobil harus dauh terkirim ke pelabuhan Tanjung Emas di Semarang setelah dua bulan dari waktu transaksi.
Dalam contoh diatas, rukun jual beli salam sudah terpenuhi, yaitu :
a. Al-Muslim adalah perusahaan A sedangkan al-muslam Ilaihi adalah perusahaan Toyota
b. Modal as-salam yaitu uang 20 milyar rupiah yang dibayar kontan
c. Shighah (transaksi) yaitu ijab dan qabul ketika transaksi sedang berlangsung.
SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM
Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan syarat-syarat sah. Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua yaitu :
1. Syarat umum jual beli dan ini pernah dimuat dalam majalah Assunnah edisi 09/Thn XIII/Dzulhijjah 1431/Desember 2009M
2. Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu :
• Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas[11]
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas, seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak dan menghindarkan sengketa.
Dalam memberikan kriteria masuk dalam syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.[12]
• Pembayaran dilakukan pada saat akad (transaksi)
Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad jual beli hutang dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan hukumnya haram. Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun, kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan hutang yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-untungan.”[13]
• Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi berlangsung
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang.
Contoh ; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal barangnya, kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram serta produk tahun kapan.
Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun panennya. Perhatikanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits di atas :
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran, timbangan serta tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
• Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan tentang tempo penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]
juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [al-Baqarah/2:282]
Ayat dan hadits diatas menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam jual beli salam.
• Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat diserahkan pada waktunya[14]
Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam syari’at Islam.
Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian syarat ini juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
• Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli. Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar (penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu, penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari perusahaannya.
Contoh :
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam. Karena keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria tertentu, sehingga si penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang diserahkan setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan sehingga jadilah gharar.
Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan menyatakan produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali bila produk perusahaan besar yang memiliki karakteristik tertentu. Seperti membeli mobel mercy seri 200 model tahun 1994 misalnya, ini diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan selainnya.[15]
Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat penyerahannya dalam akad tersebut.
Apabila bisa terjadi kesepakatan tentang tempat penyerahannya maka diperbolehkan menetapkannya dan bila tidak terjadi kesepakatan maka kembali ketempat akad terjadi apabila memungkinkan.[16]
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam, semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148; Syarhul Mumti’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 9/48; Master Textbook Fiqhul Mu’âmalât, Program S2 MEDIU, hlm. 225 dan al-Fiqhul Muyassar, hlm. 92
[2]. Lihat, kitab Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 148
[3]. Nihâyatul Muhtâj Syarhu Minhâjit Thâlibîn, ar-Ramli. Lihat, kitab Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[4]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/183
[5]. Lihat penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t tentang hal ini dalam Syarhil Mumti’ 9/49
[6]. Al-Mughni, 6/385
[7]. Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 150
[8]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/60
[9]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187
[10]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/187-188 dengan penambahan dari penulis.
[11]. Lihat, Minhâjus Sâlikîn Wa Taudhîhul Fiqh fiddin, Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’; di hlm. 150, Min Fiqhil Mu’âmalat, Syaikh Shâlih Ali fauzân, hlm. 151 dan Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/196
[12]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/197.
[13]. I’lâmul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/20
[14]. Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/200
[15]. Lihat, Buhûts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, 1/194
[16]. Lihat, al-Mulakhkhashul Fiqhi, 2/59.