Akad Dan Rukunnya Dalam Pandangan Islam

oleh -1329 Dilihat

AKAD DAN RUKUNNYA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Manusia telah mengenal ihwal akad sejak dahulu kala. Bukan suatu hal yang aneh, jika ada orang yang mengikat dirinya dengan transaksi yang harus dilaksanakan saat itu juga atau beberapa waktu berikutnya. Namun belum diketahui secara pasti bagaimana pemikiran untuk mengadakan transaksi itu muncul dan faktor dominan yang melatarbelakanginya. Semua yang diungkap dalam masalah ini hanyalah perkiraan semata.
Sebagian pakar ekonomi memandang bahwa transaksi yang dikenal pertama kali yaitu barter tunai. Yaitu ketika butuh sesuatu, ia menukar barang miliknya dengan barang orang lain yang dia butuhkan. Kemudian transaksi ini mengalami perkembangan sesuai dengan keonsep pemikiran dan agama yang berkembang pada suatu masyarakat, sampai Islam membawa konsep akad transaksi yang indah dan istimewa.
URGENSI AKAD DALAM HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Manusia sebagai makhluk sosial pasti butuh pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, setiap orang pasti butuh untuk hidup bersama dengan orang disekelilingnya. Allâh yang Maha Pengasih dan Maha Tahu memberikan anugerah kepada manusia dengan menciptakan alam semesta untuk mereka.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٢﴾ وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Allâh-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi kaum yang berfikir. [al-Jâtsiyah/45:12-13]
Setiap orang mendapatkan rezeki dan kemudahan yang berbeda-beda. Dan apa yang sudah menjadi milik orang, maka itu tidak boleh direbut atau diambil kecuali dengan transaksi yang dibenarkan syari’at. Khususnya yang terkait dengan pengelolaan dana (harta). Akad atau transaksi itu teramat penting. Transaksi inilah yang mengatur hubungan antar pihak yang terlibat. Transaksi itu juga yang mengikat hubungan antara kedua transaktor sejak akad dimulai sampai masa berlakunya habis.
Warisan ilmu fikih yang kita miliki memuat berbagai rincian dan penetapan dasar-dasar berbagai macam akad tersebut sehingga tujuan akad bisa terealisasi dan memenuhi kebutuhan umat.
Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari menyusun konsep, managemen dan mensukseskannya. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. [al-Mâidah/5:1]
Oleh sebab itu, sangat diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi, terutama saat berbagai transaksi menggiurkan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Antusias masyarakat luas dan respon positip mereka telah mengecoh banyak kaum Muslimin untuk ikut andil. Padahal seharusnya sebagai seorang Muslim, kita harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama kita. Jika tidak bertentang dengan prinsip agama dan berminat, baru ikut andil. Jika bertentangan, maka tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.
DEFENISI AKAD (TRANSAKSI)
Secara bahasa, kata “akad” berasal dari bahasa arab al-‘Aqd yang dipergunakan dalam banyak makna, yang keseluruhannya kembali ke makna ikatan atau penggabungan dua hal[1] .
Bila kita memperhatikan pernyataan dan pendapat Ulama ahli fikih seputar definisi akad, kita dapati bahwa akad itu memiliki dua makna yaitu makna umum dan makna khusus. Dalam maknanya yang umum, akad adalah semua komitmen yang ingin dilaksanakan oleh manusia dan menimbulkan hukum syar’i.[2]
Pengertian ini mencakup semua jenis komitmen, baik yang berasal dari dua pihak atau lebih seperti akad jual-beli, sewa-menyewa dan akad nikah serta yang sejenisnya; ataupun komitmen yang berasal dari satu pihak saja, seperti akad sumpah, nadzar, talak, akad memberikan hadiah, shadaqah dan lain-lainnya, termasuk komitmen pribadi untuk melaksanakan semua kewajiban agama dan meninggalkan semua larangan dalam agama.
Menurut para ahli tafsir, makna inilah yang terkandung dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. [al-Mâidah/5:1]
Ibnul Arabi rahimahullah menyatakan, “Ikatan transaksi (akad) terkadang berhubungan dengan Allâh, terkadang dengan manusia dan terkadang dengan lisan serta terkadang dengan perbuatan.”[3]
Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memasukkan komitmen untuk membebaskan budak, akad wala’, ketaatan, nadzar dan sumpah dalam kategori akad. Bahkan beliau juga menyebut kesepakatan damai antara kaum Muslimin dan orang-orang kafir sebagai akad.[4]
Pengertian akad secara umum ini digunakan para Ulama ahli fikih ketika menjelaskan hukum-hukum umum yang melekat pada suatu akad.
Sedangkan akad dalam maknanya yang khusus, didefinisikan oleh para Ulama dengan beragam definisi yang hampir sama. Semua definisi itu tercakup dalam pengertian berikut, yaitu :
رَبْطُ إِيْجَابِ بِقَبُوْلٍ أَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُمَا عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ
(akad adalah) transaksi yang ditandai dengan îjâb[5] dan qabûl[6] atau yang mewakili keduanya yang dilaksanakan sesuai dengan syari’at.[7]
Definisi akad dalam maknanya yang khusus inilah yang langsung terfahami sebagai definisi akad dalam fikih muamalat maliyah.
RUKUN-RUKUN AKAD (TRANSAKSI)
Sebelum membahas rukun akad, perlu diketahui bahwa pembahasan ini berkenaan langsung dengan akad atau transaksi dalam maknanya yang khusus bukan yang umum.
Dalam maknanya yang khusus, akad memiliki tiga rukun yaitu dua pihak yang melakukan akad (al-âqid), obyek akad (mahallul ‘aqd), serta pelafalan (shighah) akad. Berikut perinciannya
Pertama : Dua Pihak Yang Melakukan Akad (Transaktor).
Maksudnya adalah dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi. Kedua orang ini harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat tersebut adalah :
a). Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini ditandai dengan akil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya tidak sah.
b). Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah.
c). Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyâr (hak pilih/opsi). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘aib dan sejenisnya. [8]
Kedua : Obyek Akad (Mahallul Aqd/ al-Ma’qûd ‘alaihi).
Sesuatu yang menjadi obyek akad, terkadang berupa harta benda, barang dan terkadang non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual dalam akad jual beli, atau yang disewakan dalam akad sewa-menyewa dan sejenisnya.
Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu adalah :
1. Obyek akad adalah suatu yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini disepakati para Ulama fikih. Penulis Bidâyatul Mujtahid (2/166), Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, “(Jika obyek akad itu) barang, maka (syaratnya adalah) boleh diperjual-belikan. … sedangkan (jika obyek akad itu adalah) manfaat (jasa) maka harus dari sesuatu yang tidak dilarang syari’at. Dalam masalah ini, ada beberapa masalah yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Diantara yang sudah disepakati (oleh para Ulama’) adalah batalnya akad sewa-menyewa atas semua manfaat (jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya haram. Demikian juga semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan ini, apabila obyek akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka akadnya tidak sah. Misalnya pada akad Mu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang menjadi obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak terkait dengan hak orang lain. Berdasarkan ini, para Ulama ahli fiqih melarang beberapa bentuk transaksi berikut :
a). Jika obyek akadnya adalah manusia yang merdeka (non budak), karena orang yang merdeka bukan harta, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh dijadikan jaminan hutang.
b). Jika obyek akadnya adalah sesuatu yang najis, seperti bangkai, anjing dan babi. Juga semua barang yang suci yang berubah menjadi najis yang tidak mungkin disucikan lagi, seperti cuka, susu dan benca cair lainnya yang terkena najis. Namun jika bisa dibersihkan, maka itu boleh dijadikan sebagai obyek akad.
c). Jika obyeknya adalah barang yang tidak dapat dimanfaatkan, baik yang tidak dapat dimanfaatkan dalam bentuk nyata, seperti serangga atau tidak dapat dimanfaatkan karena dilarang syariat, seperti alat musik.[9]
Karena fungsi legal dari suatu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Komoditi yang tidak berguna ibarat barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat jadikan obyek akad.[10]
2. Obyek akad itu ada ketika akad dilakukan.
3. Obyek transaksi bisa diserahterimakan. Barang yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.
4. Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan secara langsung, maka traksaktor harus mengetahui wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan transaktor namun barang tersebut tidak ada di lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Barangsiapa yang melakukan jual beli As-Salm, hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang jelas, dalam batas waktu yang jelas..”
Ketiga : Kalimat Transaksi (shighat al-Akad)
Yang dimaksudkan adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari transaktor untuk menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan sekaligus mengisyaratkan keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih membahasakannya dengan îjâb dan qabûl (serah terima)[11] , namun mereka berbeda pendapat tentang definisi ijâb dan qabûl. Menurut madzhab hanafiyyah, ijâb adalah kalimat transaksi yang diucapkan sebelum qabûl, baik bersumber dari pihak pemilik barang (dalam akad jual-beli, sewa-menyewa) ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual beli).
Sementara menurut jumhur Ulama, îjâb adalah statemen penyerahan dan qabûl adalah statemen penerimaan. Sehingga menurut jumhur Ulama, ijâb itu mestinya diucapkan oleh orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon isteri dan lain sebagainya. Dan qabûl karena dia adalah penerimaan, maka msertinya berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijâb sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabûl.
Pada dasarnya ketika seseorang hendak mengungkapkan keinginannya, maka yang dia pergunakan adalah untaian kata-kata. Sehingga lafazh dan untaian kata-kata adalah cara utama dalam mengungkapkan keinginan. Namun ini terkadang bisa diwakili dengan yang lainnya seperti isyarat, tulisan, surat dan saling memberi dan lain sebagainya. Oleh karena itu shighat (kalimat transaksi) ini dapat dilakukan dengan dua cara :
1. Dengan shighat qauliyah (ucapan lisan). Ini yang dinamakan îjâb Qabûl. Ijâb qabûl ini dapat diwujudkan dengan tulisan atau utusan perwakilan. Apabila seorang menulis kepada pihak kedua lalu mengirimnya dengan faks atau mengirim orang untuk membawa faktur penjualan lalu pihak kedua menerimanya di majlis akad maka akad jual beli itu sah.
Dalam ijâb qabûl disyaratkan beberapa syarat diantaranya :
a). Ada relevansi antara qabûl dan îjâb [12] dalam masalah ukuran, kriteria, pembayaran dan tempo. Jika tidak relevan, maka akad itu tidak sah. Misalnya, penjual menyatakan, “Saya jual rumah ini seharga 300 juta.”, lalu pembeli menjawab, “Saya terima rumah ini seharga 250 juta.” , maka akad seperti ini tidak sah.
Apabila qabûl menyelisihi kandungan îjâb maka akad atau transaksinya tidak sah.
Namun bila qabûl menyelisihi îjâb demi kebaikan orang yang mengucapkan îjâb maka para Ulama menyatakannya sebagai akad yang sah. Misalnya, seorang wali mengucapkan îjâb dengan menyatakan, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya dengan mahar 50 ribu dolar”. lalu sang mempelai lelaki menjawab dalam qabulnya, “Saya terima nikahnya dengan mahar 100 ribu dolar”. Akad ini bisa diterima dan sah karena isinya mendatangkan kemaslahatan bagi pengijâb. Bahkan ini semakin menunjukkan keridhaan pihak penerima.
b). Ijâb dan qabûl bersambung dan ini terwujud dalam satu majlis atau dalam satu lokasi. Karena îjâb itu hanya bisa dianggap bagian dari transaksi bila ia bersambung dengan qabûl. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisi jaman. Dalam kondisi tertentu, akad bisa berlangsung melalui pesawat telpon, kecuali akad nikah, akad jual beli salam dan beberapa akad lainnya yang tidak bisa via telepon. Ketika akad dilakukan via telepon, maka lokasi akad adalah masa berlangsungnya percakapan via telpon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan line telpon masing tersambung, berarti kedua belah pihak masih berada dalam lokasi transaksi.
Terkait dengan syarat ijâb dan qabûl harus bersambung dan terjadi dalam satu majlis, ada beberapa akad yang diperkecualikan, karena tidak bisa dan bukan menjadi syarat, misalnynya:
• Akad wasiat (transaksi wasiat). Ijâb dalam akad ini dilakukan saat pemberi wasiat masih hidup dan qabûl dari pihak penerima wasiat tidak akan dianggap kecuali setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Akad wasiat menjadi tidak sah apabila serah terima barang yang diwasiatkan dilakukan di majlis îjâb atau setelahnya selama pemberi wasiat masih hidup.[13]
• Akad Washâyah yaitu akad penyerahan wewenang setelah kematian orang yang memiliki kewenangan tersebut. Seperti untuk melunasi hutang, mengembalikan barang titipan. Orang yang diberi wewenang dinamakan washiy dan seseorang tidak anggap washiy kecuali setelah yang memberikan wewenang itu meninggal. Karena dalam akad washâyah tidak disyaratkan îjâb dan qabûl itu dalam satu majlis.[14]
• Akad Wakalah.
c). Antara îjâb dan qabûl tidak diselingi jeda waktu lama yang mengisyaratkan ketidakinginan salah satu pihak.
Tidak ada indikasi yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri dari pihak kedua merupakan syarat, karena jika indikasi itu ada, maka bisa membatalkan îjâb. Kalau beberapa saat setelah ada indikasi penolakan itu baru ada qabûl, maka qabû itu sudah tidak berguna lagi. Karena tidak terkait lagi dengan îjâb sebelumnya secara tegas.
d). Kedua belah pihak mendengar ucapan îjâb qabûl. Apabila jual beli menggunakan saksi maka pendengaran saksi cukup untuk mengesahkan jual beli tersebut.
e). Ijâb masih berlaku sampai ada qabûl dari pihak kedua. Kalau pihak pertama telah menarik îjâbnya, lalu setalah itu ada qabûl, maka qabûl seperti ini dianggap qabûl tanpa îjâb dan tidak diperhitungkan.
2. Dengan shighatul fi’liyah (dengan perbuatan) dinamakan juga al-mu’athah yaitu serah terima tanpa ucapan. Seperti orang yang membeli barang yang sudah jelas harganya lalu ia ambil barang dan menyerahkan uang pembayaran. Ini sering terjadi di supermarket dan toko-toko zaman ini. Demikian juga aktifitas jual beli via bursa efek, dimana akad transaksi terjadi dalam hitungan menit bahkan detik dengan aturan dan sisitem yang telah disepakati perusahan dan orang-orang yang bertransaksi untuk menunjukkan keridhaan. Maka ini semua sah apabila sudah ada nota kesepakatan antara perusahaan yang terkait dengan penjual dan pembeli atas satu sistem yang mengungkapkan keridhaan semua pihak. Seperti nomor kartu visa via internet.
Demikian sebagian pembahasan tentang transaksi dan rukunnya dalam islam semoga bermanfaat.
Referensi :
1. Al-Mughni karya Ibnu Quddâmah.
2. Raudhatuth Thâlibîn karya Imam an-Nawawi
3. Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab karya imam an-Nawawi
4. Aqsâmul Uqûd fil Fiqhil Islâmi, karya Hanân bintu Muhammad Husein Jastaniyah
Dll.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ikatan itu sendiri bisa bermakna kongkrit. Itulah makna sebenarnya. Seperti dalam bahasa Arab, “aqadtu al-habl” yakni saya buhul dan saya hubungkan antara dua ujungnya. Namun ikatan juga bisa bermakna abstrak seperti ikatan jual-beli.
[2]. Aqsâmul Uqûd 1/43
[3]. Ahkâmul Qur`ân, 2/526
[4]. Lihat al-Qawâ’idun Nûrâniyah, hlm. 73.
[5]. Ungkapan penyerahan dari pihak pertama, misalnya, “Saya menjual barang ini kepada anda”
[6]. Ungkapan penerimaan dari pihak kedua, misalnya, “Saya beli barang anda”
[7]. Lihat at-Ta’rîfât karya al-Jurjâni, hlm. 166
[8]. Tentang khiyaar telah kami sampaikan dalam rubrik fikih majalah Assunnah edisi 12/Thn.XIII/Rabiul Awwal 1431H/Maret 2010M dan edisi 01/Thn XIV/Rabiul Tsani 1431/April 2010M
[9].Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab karya imam an-Nawawi, 9/238-240.
[10]. Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan jaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan.
[11]. Aqsâmul Uqûd 1/59
[12]. Lihat Raudhatuth Thâlibîn karya Imam an-Nawawi, 3/342
[13]. Lihat al-Mughni 6/444
[14]. Lihat al-Mughni 6/467