Ibnun Nafis, Ilmuwan Penemu Sistem Peredaran Darah

oleh -848 Dilihat
oleh

Sejarah mencatat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu negeri, sangat tergantung dengan peran pemerintahannya. Ketika pemerintah begitu memperhatikan masalah iptek, memfasilitasi para ilmuwan untuk belajar dan berkarya, pastilah ilmu pengetahuan akan berkembang pesat. Demikianlah yang terjadi di Damaskus pada abad ke tujuh Hijriyah.

Ilmu pengetahuan sempat mencapai masa keemasan di Damaskus saat diperintah oleh keluarga Ayyubiyyin. Yaitu para sultan yang berasal dari keluarga Ayyub, seperti Imaduddien dan Nuruddien az-Zanky, yang dilanjutkan oleh Shalahuddien al-Ayyubi dan seterusnya.

Para sultan Ayyubiyyien tadi menjadikan Damaskus sebagai pusat berbagai ilmu dan kesenian. Sehingga para ilmuwan berdatangan dari segala penjuru negeri untuk mengembangkan bakat ilmiah mereka di sana, terutama para tabib. Mereka tertarik untuk melihat sebuah klinik yang baru dibangun di Damaskus. Diantara mereka, kebanyakan bekas murid si Tabib terkenal Amienud-Daulah Ibnut Tilmidz dari Baghdad. Masing-masing tabib tadi membawa sejumlah buku kedokteran terkenal, diantaranya kitab Ibnu Sina dan juga lainnya.

Bila seseorang masuk rumah sakit manapun, ia pasti akan mendapati pasien yang tidur di ranjang dengan cairan infus tergantung di atasnya. Atau yang sedang mendapat transfusi darah juga dengan cara serupa. Pemandangan seperti ini cukuplah untuk menunjukkan, bahwa yang pertama kali mengungkap sistem peredaran darah kecil adalah seorang ilmuwan muslim. Pertama kali ditemukan ialah oleh tokoh kita ini, yaitu Ibnun Nafis. Akan tetapi dunia kedokteran modern menisbatkan penemuan ini kepada orang lain yang bernama William Harvey. Padahal Harvey tak lain hanyalah orang yang mendasarkan penemuannya pada karya-karya Ibnun Nafis.

Di Damaskus yang merupakan pusat peradaban ini Ibnun Nafis dilahirkan dengan nama lengkap Ala’uddin Ali bin Abil-Hazm al-Quraisy. Sejarah memang tidak mencatat tanggal dan tahun kelahirannya sebagaimana pada sejumlah tokoh terkenal lainnya. Hal ini wajar, mengingat kebanyakan tokoh dari ilmuwan ini tidak terlahir sebagai orang tenar, akan tetapi dari keluarga sederhana yang lebih mementingkan masalah tarbiyah dan mencari penghidupan daripada mencatat kelahiran. Lain halnya dengan keturunan para penguasa yang senantiasa menjadi perhatian para sejarawan.

Semangat keilmuan yang dihembuskan kota Damaskus begitu menggugah Ibnun Nafis untuk mempelajari kedokteran. Dia pun berguru kepada Madzhabuddien Abdur Rahiem, seorang dokter spesialis mata di klinik An-Nawary Damaskus. Sang guru kemudian dilantik oleh sultan Syaifuddien al-Ayyubi, saudara Shalahuddien yang sekaligus penggantinya, untuk menjadi kepala seluruh dokter di Suriah dan Mesir.

Ibnun Nafis juga berguru kepada Imran al-Israily yang bertugas menangani pasien-pasien yang sudah tidak mempunyai harapan sembuh. Dia belajar bidang kedokteran, memeriksa para pasien, dan mengawasi tahap-tahap pengobatan dengan seksama. Hingga suatu ketika ia bersama sejumlah rekannya diutus oleh Sultan ke Mesir.

Di Kairo, Ibnun Nafis mendapati kota Kairo demikian indah dengan pesona sungai Nilnya yang terkenal dan bangunan-bangunannya yang megah. Akan tetapi, Ibnun Nafis justru mencari tempat-tempat sepi dan jauh dari keramaian kota untuk mengkaji dan meneliti masalah-masalah ilmiah yang rumit. Dia menghabiskan sisa waktunya di sebuah rumah yang dibangun khusus untuknya. Para ulama dan tabib pun senantiasa berdatangan mengunjunginya. Demikian pula dengan penguasa dan tokoh masyarakat. Mereka datang untuk mendiskusikan berbagai masalah ilmiah.

Meski Ibnun Nafis seorang yang juga mengagumi tulisan-tulisan Ibnu Sina, akan tetapi ia tidak mengikuti jejaknya dalam ilmu filsafat. Dialah pakar ketabiban yang dijuluki sebagai Ibnu Sina pada masanya. Disamping itu Ibnun Nafis juga menguasai ilmu-ilmu lainnya. Bahkan ia sempat mengajar fikih di Madrasah al-Masruriyyah di Kairo, dan menulis sejumlah kitab dalam bidang hadits, sirah nabawiyah dan nahwu.

Dia tidak pernah bakhil terhadap ilmu yang dimilikinya. Siapapun yang datang untuk belajar, ia akan mengajarinya baik siang maupun malam. Bahkan ia mewasiatkan seluruh kitab berharga yang dimilikinya untuk klinik al-Masruriyyah di Kairo.

Diantara karya terbesar Ibnun Nafis adalah bukunya yang berjudul Syarh Tasyrih al-Qonun. Kitab ini merupakan penjabaran kitab al-Qonun fith-Thibb tulisan Ibnu Sina. Tujuan penulisan buku ini ialah bagaimana menguasai ilmu kedokteran lewat anatomi, alias tasyrih.

Dalam buku tersebut, Ibnun Nafis menaruh perhatian besar terhadap anatomi jantung, kerongkongan dan paru-paru. Ia juga berhasil mengungkap sistem peredaran darah kecil sebelum diungkap oleh Harvey. Para ilmuwan Eropa mendapat manfaat yang sangat besar dari sejumlah teori dan tulisan Ibnun Nafis. Sebagai contoh, di kota Venizia Italia, salah seorang dokter Italia yang bernama Piaggio menerbitkan sejumlah bab dari kitab Syarh Tasyrih al-Qonun yang diterjemahkan ke bahasa Latin. Demikian pula Harvey menjelaskan tentang sistem peredaran darah dan ia juga mempelajarinya dari buku-buku Ibnun Nafis.

Di samping itu, Ibnun Nafis memiliki buku penting lainnya yang berjudul al-Muhadzdzab fil-Kuhl. Buku ini menjelaskan bagaimana mengobati berbagai macam penyakit mata, demikian pula buku lain yang menjelaskan buku Hippocrates, yang terkenal dengan judul Syarah Fushul Abqarat.

Ibnun Nafis dikenal sebagai ilmuwan yang sangat cepat dalam menulis. Konon, bila ia hendak menulis suatu buku, disiapkan baginya sejumlah pena yang telah diruncingkan, kemudian ia menghadapkan wajahnya ke dinding dan menulis dengan sangat cepat. Hingga bila pena pertama telah patah, ia langsung mengambil pena berikutnya agar tidak ada waktu yang terbuang untuk meruncingkan pena.

Demikianlah, ciri khas setiap ilmuwan sangat menghargai waktu. Seperti halnya para ulama sejak dahulu hingga sekarang amat pelit dengan waktunya. Mereka tidak bisa melewatkan sesaatpun untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Sehingga mereka mencapai kejayaan. Dan hanya dengan menghargai waktu, suatu bangsa membangun peradabannya.

Namun ketika kaum muslimin menjadi kaum yang paling murah menghargai waktunya, telah membuatnya jauh tertinggal di belakang dan mundur dalam ilmu pengetahuan. Padahal Islam merupakan agama yang sangat menghargai waktu. Bukankah setiap ibadah yang dilakukan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan waktu? Shalat lima waktu, puasa selama bulan Ramadhan, zakat setiap tahun, haji sejak tanggal 8 – 13 Dzul Hijjah setiap tahun, puasa setiap hari Senin dan Kamis, shalat Jum’at, bahkan sejak seseorang bangun tidur hingga tidur kembali telah diatur sedemikian rupa. Bukankah ini semua menunjukkan berharganya waktu bagi seorang muslim?

Kembali ke sang tokoh. Saat itu, Ibnun Nafis tengah terbaring  akibat sakit yang dideritanya. Beberapa dokter rekannya mengatakan, dengan meminum sedikit khamr, maka sakit yang dideritanya bakal sembuh. Akan tetapi Ibnun Nafis menolaknya seraya berkata, “Aku tidak ingin menghadap Allâh sedangkan dalam perutku ada sedikit khamr.”

Setelah itu, Ibnun Nafis bertahan selama enam hari dalam sakitnya hingga ia menghadap Allâh yang Maha Kuasa. Tepatnya pada bulan Dzul Hijjah tahun 687 H di Kairo. Rahimahullaahu rahmatan waasi’an.

Maraji’: Masyahir A’lamil Muslimin.

Rubrik Syakhshiyyah Baituna, Majalah As-Sunnah edisi 09/Thn. XVI, Shafar 1434 H / Januari 2013 M
Kunjungi Toko Online Majalah As-Sunnah, untuk mendapatkan koleksi majalah yang lebih lengkap dengan harga dan penawaran menarik lainnya.