Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam untuk nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia. Semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Pada masa jahiliyah, orang-orang Arab memiliki berbagai budaya dan kebiasaan yang mereka lakukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kebudayaan itu ada yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Adapun tujuan kita mengenal persoalan ini, ialah agar kita tidak terjerumus ke dalam budaya-budaya jahiliyah tersebut.
Pada abad globalisasi ini betapa cepat pertukaran peradaban namun sebagian kita tidak memiliki filter untuk menyaring kebudayaan dan peradaban tersebut. Sehingga sebagian kita terjerumus dan jatuh ke dalam berbagai jurang kesesatan umat-umat yang lain. Sebagaimana telah disinyalir oleh Rasulullah ﷺ :
لَتَتَّبِعَنَّ سَنَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا فِيْ جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوْهُمْ قُلْنَا يَارَسُوْلَ اللَّهِ آلْيَهُوْدَ وَ النَّصَارى؟ قَال فَمَنْ؟! (متفق عليه)
“Sesungguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti,” maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?” (Jawab Rasulullah): “Siapa lagi?!” (HR al-Bukhâri dan Muslim).
Jika kita melihat ke tengah masyarakat, tentu kita akan mendapatkan sebagian besar mereka sudah terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban umat-umat lain. Baik dengan sengaja menirunya dengan alasan model dan gaya, atau karena tidak tahu terhadap ajaran agama kita sendiri, tidak menyadari bahwa kebiasaan dan gaya tersebut merupakan perilaku umat jahiliyah dahulu.
Tentang budaya dan kebiasaan orang-orang jahiliyah ini, maka Allah telah menjelaskan dalam banyak ayat, dan begitu pula Rasulullah ﷺ dalam banyak hadits, agar umat ini terhindar dan tidak menyerupai kebiasaan mereka yang menyimpang dari kebenaran. Yaitu sebagaimana yang telah diturunkan Allah k kepada para nabi dan rasul- Nya. Baik yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak maupun hukum kemasyarakatan. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى :
﴿وَكَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ وَلِتَسْتَبِيْنَ سَبِيْلُ الْمُجْرِمِيْنَ ࣖ ﴾
Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur‘ân supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Qs al-An’âm/6:55).
Allah menjelaskan jalan orang-orang yang berdosa agar kita menghindari dan menjauhinya, agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa, sekaligus menjauhi jalan dan sebab-sebab yang menimbulkan dosa. Diantara jalan dosa adalah meniru budaya dan peradaban orang-orang jahiliyah serta jalan umat yang dilaknat dan disesatkan oleh Allah سبحانه وتعالى . Karena ketidaktahuan terhadap sebab-sebab kebatilan bisa membawa seseorang kepada kebatilan itu sendiri. Sebaliknya jika seseorang mengetahui jalan dan sebab kebinasaan, maka ia akan selalu mawas diri. Di samping itu ia akan memberitahukan kepada orang lain agar menghindari sebab-sebab dan jalan kebinasaan tersebut.
Hal inilah yang diungkapkan sahabat Hudzaifah رضي الله عنه :
كَانَ النَّاس يسألون رسول الله ﷺ عن الخيرِ وكُنْتُ أسألُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أن يدرِكَنِي
(صحيح البخاري برقم (٧٠٨٤) ، وصحيح مسلم برقم (١٨٤٧).
Adalah para sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal yang baik-baik saja, namun saya bertanya kepada beliau tentang hal yang jelek, karena saya takut akan terjerumus ke dalamnya. (HR al-Bukhâri dan Muslim).
Sahabat Hudzaifah رضي الله عنه menggambarkan kepada kita, di antara faktor penyebab yang menjerumuskan seseorang ke dalam kejelekan adalah tidak mengetahui perihal kejelekan itu sendiri. Hal ini ditegaskan lagi oleh khalifah yang kedua, yaitu ‘Umar bin Khaththab رضي الله عنه dalam ungkapannya:
إِنَّمَا تَنْقُضُ عُرى الإسْلاَمِ عُرْوةً عُرْوَةً إِذَا نَشَــأَ فِي الإِسْلاَمِ مَنْ لَا يَعْرِفُ الجَاهِلِيَّةَ
(sesungguhnya putusnya tali Islam itu sedikit demi sedikit apabila tumbuh dalam Islam orang yang tidak mengenal jahiliyah), karena bila seseorang yang tidak mengetahui kebatilan, ia tidak akan mengingkari kebatilan tersebut. Bila demikian halnya, tentu kebatilan itu hari demi hari akan semakin meluas, hingga kemudian diangap sebagai kebenaran. Pada akhirnya, bila ada yang mengingkari, maka ia akan dianggap mengingkari kebenaran. Sehingga terjadi penilaian yang amat keliru, yang batil dianggap benar, dan yang benar dianggap batil.
Gejala ini sudah mulai nampak dalam kehidupan kita. Ketika ada perhatian dari sebagian orang yang peduli untuk menanggulangi berbagai penyimpangan moral dalam masyarakat, kemudian datang kelompok lain dengan menamakan diri pembela hak asasi dan kebebasan. Seolah yang memiliki kebebasan dan hak asasi hanyalah orang yang melanggar. Adapun orang yang patuh, kemanakah hak asasi dan kebebasan mereka? Semestinya yang mendapatkan hukuman ialah orang yang menyimpang, tetapi justru malah memperoleh pembelaan. Sebaliknya, orang yang berjalan di atas kebenaran dianggap tidak berwawasan, tidak toleransi, tidak bisa berbeda pendapat, fanatik, mau menang sendiri, dan seterusnya berbagai celaan diarahkan kepada mereka.
Segala perkara jahiliyah dikubur di bawah telapak kaki Rasul ﷺ , sebagai bentuk peringatan kepada umat Islam agar tidak menggali kembali perkara-perkara jahiliyah tersebut, apalagi melestarikannya. Sebagaimana dinyatakan dalam sabda beliau ﷺ :
ألاَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوعٌ (رواه مسلم)
Ketahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah di bawah telapak kakiku terkubur. (HR Muslim)
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Sabda Rasul ﷺ ‘Seluruh perkara-perkara jahiliyah berada di bawah telapak kakiku,’ berada di bawah telapak kakiku,’ termasuk dalam hal tersebut, ialah segala hal yang mereka lakukan dalam berbagai ibadah dan budaya, seperti hari-hari besar mereka dan kebiasaan mereka lainnya, … tidak termasuk ke dalam hal itu budaya mereka yang diakui dalam Islam,seperti manasik dan diyat orang yang terbunuh, dan lain-lain. Karena yang dipahami dari ungkapan budaya-budaya jahiliyah, ialah hal-hal yang tidak diakui oleh Islam, dan termasuk juga di dalamnya yaitu kebiasaan[1]kebiasaan jahiliyah yang tidak dilarang secara khusus”.1
Dalam sabda yang lain beliau tegaskan:
عَنْ ابن عَبَّاسٍ أنَّ النَّبِيَّ ﷺ قال أَبْغَضُ النَّاسِ إلى اللهِ ثَلاَثَةٌ مُلْحِدٌ في الحرمِ ومُبْتَغٍ في الإسلامِ سُنَّةَ الجَاهِلِيَّةِ ومُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهريقَ دَمَهُ (رواه مسلم)
“Diriwayat dari sahabat Ibnu Abbas رضي الله عنه bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya)”. (HR Muslim)
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Setiap orang yang ingin melakukan sesuatu dari sunnah jahiliyah, ia termasuk dalam hadits ini. Sunnah jahiliyah ialah segala kebiasaan (adat-budaya) yang mereka lakukan. Karena sunnah ialah adat, yaitu kebiasaan yang berulang agar bisa melingkupi semua orang. Yaitu hal-hal yang mereka anggap ibadah ataupun yang tidak mereka anggap ibadah … Barang siapa yang melakukan sesuatu dari adat-adat mereka, maka sesungguhnya ia telah menginginkan sunnah jahiliyah. Hadits ini umum mewajibkan diharamkannya mengikuti segala sesuatu dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dalam hal perayaan hari-hari besar, dan juga di luar perayaan hari-hari besar”.2
Beliau t mengungkapkan lagi pada kitab lainnya: “Sabda Rasul ﷺ ‘Yang mencari dalam Islam sunnah jahiliyah,’ termasuk ke dalamnya, yaitu segala kejahiliyahan secara mutlak; agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, agama penyembah berhala, agama syirik, atau adopsi dari sebagian ajaran-ajaran agama-agama jahiliyah tersebut, maka seluruh bid’ah dan ajaran yang telah mansukh (dihapus), telah menjadi jahiliyyah dengan diutusnya Muhammad ﷺ . Sekalipun kalimat jahiliyah lebih dominan penggunaannya kepada orang-orang Arab, tetapi maknanya sama”.3
Berikut kami sebutkan di antara bentuk budaya jahiliyyah yang berhubungan dengan keyakinan.
Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabda beliau:
عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن ﷺ قال لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ ولا هَامَةَ ولا صَفَرَ (أخرجه البخاري و مسلم)
Dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan Safar adalah bulan sial”. (HR al-Bukhâri dan Muslim).
زَادَ مُسْلِمٌ: ((وَلَا نَوْءَ وَلَاغُوْلَ)).
Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan: “Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu”.
Dalam sabda Rasulullah ﷺ di atas, ada beberapa kebiasan orang jahiliyah sebagaimana penjelasan para ulama dalam mengomentari maksud hadits tersebut.
Pertama, al-’Adwâ.
Yaitu berkeyakinan bahwa suatu penyakit dapat Yaitu berkeyakinan bahwa suatu penyakit dapat berpindah kepada orang lain dengan sendirinya tanpa ada takdir dari Allah. tanpa ada takdir dari Allah.
Di antara budaya keyakinan orang-orang jahiliyah, yaitu mempercayai bahwa penyakit dapat berpindah dengan sendirinya kepada orang lain, tanpa ada takdir dari Allah. Hal ini dapat mengurangi atau membatalkan kemurnian tauhid seseorang kepada Allah. Karena yang dapat menimpakan penyakit dan musibah hanya Allah semata. Allah سبحانه وتعالى menyatakan dalam firman-Nya:
﴿ مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ ٢٢ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ ٢٣ ﴾
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Qs al-Hadid/57:22-23).
Namun bukan berarti kita tidak boleh menghindari sebab-sebab yang dapat mencelakan ataupun yang membahayakan. Karena dalam melakukan sebab-sebab itu kita tidak boleh meyakini bahwa sebab itu sendiri yang dapat menyelamat kita. Jika Allah berkendak, bisa saja Allah berbuat sesuatu pada kita tanpa ada sebab. Sebagian ulama mengatakan, meninggalkan sebab adalah menyalahi akal sehat, dan bergantung kepada sebab adalah kesyirikan.
Sebagai contoh, untuk mendapatkan anak maka kita harus menikah. Namun tidak berarti setiap orang yang menikah pasti mendapatkan anak. Karena ada orang yang beristeri empat tidak mempunyai anak. Oleh sebab itu, dalam hadits lain Rasulullah ﷺ katakan:
لاَ عَدْوَى وَلَا طِيــــــــَــرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ وَفَرَّ مِنَ المَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ (رواه البخاري)
Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah (sendiri), tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan Safar adalah bulan sial, dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga. (HR al-Bukhâri).
Penggalan terakhir dari hadits “dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singa” telah dibuktikan oleh ilmu medis modern kebenarannya. Tetapi Islam telah jauh lebih maju sebelum ahli medis membuktikannya. Ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti kebenaran Islam dan keagungannya.
Dalam hadits di atas terdapat keterangan tentang hukum mengambil sebab keselamatan dari penyakit menular. Dalam sabda lain beliau katakan:
لاَ يُــورِدُ مَمْرِضٌ على مُصِحٍّ (رواه مسلم)
Jangan campurkan onta yang sakit ke dalam onta yang sehat. (HR Muslim).
Sebagian ulama berpendapat, dua konteks hadits di atas tidak saling bertentangan. Konteks pertama ditujukan pada orang yang kuat iman dan tawakalnya kepada Allah, terutama bila ada maslahah yang lebih besar, seperti petugas kesehatan dan regu penyelamat. Maka hendaklah ia memantapkan keimanan dan tawakalnya kepada Allah jika situasi mengharuskannya untuk berkorban. Konteks hadits kedua ialah bagi orang yang kurang iman dan tawakalnya kepada Allah. Wallahu a’lam. 4
Kedua, ath-Thiyarah.
Yaitu menebak apa yang akan terjadi dengan perantara burung. Atau mengundi nasib berdasarkan gerak-gerik binatang, seperti burung dan lainnya. Adakalanya disebut dan lainnya. Adakalanya disebut at- tathoyyur, namun maksudnya sama. namun maksudnya sama.
Di antara budaya orang-orang jahiliyah, yaitu jika akan berpergian atau melakukan sesuatu; ketika keluar dari rumah, mereka terlebih dahulu memperhatikan binatang yang melintas di hadapan mereka. Binatang yang sering dijadikan pegangan ialah burung. Jika binatang itu melintas dari arah kiri ke kanan mereka, menurut mereka hal itu pertanda perjalanan dan rencananya akan sukses, maka mereka pun melanjutkan perjalanan dan rencananya. Dan jika binatang tersebut melintas sebaliknya, maka ini pertanda sial atau malapetaka akan merintangi mereka. Sehingga mereka pun tidak melanjutkan perjalanan dan rencananya.5
Hal ini jelas bertentangan dengan akal sehat, dan apalagi dengan aqidah Islam. Karena binatang tersebut bergerak tanpa pertimbangan akal, dan tidak pula ditugaskan Allah untuk memberitahukan hal-hal yang ghaib kepada manusia.
Melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan karena faktor gerak-gerik binatang sebagai ukuran baik dan buruk adalah perbuatan syirik. Karena telah menggantungkan harapan kepada selain Allah. Hal tersebut hanyalah prasangka yang dibisikan setan untuk menjerumuskan manusia ke lembah kesyirikan. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Disebutkan dalam sabda Rasul ﷺ :
عن معاوية بن الحكم السلمي قال قلت يا رسول الله إنِّي حديث عَهْدٍ بجاهليَّةٍ وقد جاءَ اللهُ بالإسلامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالاً يَأْتُون الكُهَّانَ قال فلا تأتهم قال ومنَّا رجالٌ يَتَطيَّرُونَ قال ذاك شيء يجدونه في صدورهِمْ فلا يَصُدَّنَّكُمْ رواه مسلم.
Dari Sahabat Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami t berkata: Aku berkata kepada Rasulullah r : “Ya Rasulullah, saya baru saja meninggalkan kejahiliyahan. Sesunguhnya Allah telah mendatangkan Islam, dan sebagian kami (pada masa jahiliyah) ada yang mendatangi tukang tenung (dukun),” beliau menjawab, “Engkau jangan mendatangi mereka”. “Dan di antara kami ada yang mengundi nasib dengan burung,” beliau menjawab, “Yang demikian adalah sesuatu yang terbayang dalam dada kalian, maka janganlah hal itu menghambat kalian (dari melakukan sesuatu)”. (HR Muslim).
Dalam sabda beliau ﷺ yang lain disebutkan:
من حديث ابن مسعود مرفوعا : الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطيرةُ شركٌ وما مِنَّا إلَّا … ولكن الله يُذْهِبُهُ بالتوكُّلِ (رواه أبو داود والترمذي وصححه . وجعل آخره من قول ابن مسعود)
Dari Sahabat Ibnu Mas’ud secara marfu’ (langsung kepada Rasulullah ﷺ ) : “Mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik, mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik (beliau mengulanginya dua kali), tiada di antara kita kecuali (pernah terlintas dalam ingatannya), tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakkal kepada Allah”. (HR Abu Dâwud dan at-Tirmidzi; dan at-Tirmidzi menshahîhkannya, dan menganggap akhir hadits tersebut merupakan ungkapan dari Ibnu Mas’ûd رضي الله عنه ).
Dalam dua hadits ini disebutkan, perasaan pesimis yang timbul dengan mendasarkan pada gerak-gerik burung merupakan sikap keraguan belaka. Cara untuk menghilangkan perasaan tersebut, ialah dengan bertawakkal kepada Allah. Karena Allah tidak menjadikan gerak-gerik binatang atau burung sebagai dalil dan tanda[1]tanda untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi.
Rasul r lebih senang kepada sikap optimis dari sikap pesimis, sebagaimana sabda beliau:
عن أنس بن مالكٍ – رضي الله عنه – عن النبي ﷺ قال لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الفألُ قَالُوا وَمَا الفألُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Dari Sahabat Anas رضي الله عنه , ia berkata Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, dan aku lebih suka kepada sikap pesimis,” para sahabat bertanya: “Apa sikap pesimis itu?” Beliau menjawab,”Yaitu kalimat yang baik”. (HR al-Bukhâri dan Muslim).
وَلِأَبِي دَاوُدَ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، قَالَ : ذُكِرَتْ الطِّيَـرَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ أَحْسَنُهَا الفَأْلُ وَلاَ تَرُدُّ مُسْلِمًا فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ لاَ يَأْتِيْ بِالحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلاَ يدفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أنتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ
Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir رضي الله عنه , ia berkata: “Seseorang menyebut di hadapan Rasulullah tentang mempercayai gerak-gerik burung, beliau pun menyanggah; yang terbaik ialah bersikap optimis, jangan sampai hal itu mengembalikan seorang muslim (dari tujuannya); jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang tidak ia senangi, maka hendaklah ia berkata: ‘Ya Allah, tiada yang mampu mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tiada yang mampu menolak kejelekkan kecuali Engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Engkau’.”
Dalam sabda lainnya Rasul r menyebutkan, barang siapa yang melakukan ath-thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. Dan sebagai kafarat, ialah membaca do’a yang beliau sebutkan dalam hadits ini:
عَنِ ابْـــــنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رسول الله ﷺ : مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةَ عن حَاجَتِهِ فَقَدْ أشركَ قالوا يا رسول الله ما كفَّارةُ ذلك قَالَ أنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ الَّلهُمَّ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرَكَ وَلاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ (رواه أحمد، وصححه الألباني في “إصلاح المساجد”: 116)
Dari sahabat Ibnu ‘Umar رضي الله عنه , ia berkata: telah bersabda Rasulullah r : “Barang siapa yang dikembalikan ath-thiyarah dari keperluannya, maka ia telah berbuat syirik”. Para sahabat bertanya: “Apa kafarah untuk itu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Dia mengucapkan,’Ya Allah, tiada ketentuan nasib kecuali ketentuan Engkau. Dan tiada (yang dapat memberi) kebaikan kecuali Engkau. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau’.” (HR Imam Ahmad, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Islâhul-Masajid, 116).
Insya Allah bersambung…
Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008M