Umat dalam arti bangsa di sebuah negara akan menjadi bangsa yang eksis bila paling tidak memiliki dua usur pokok, yaitu pemimpin dengan segala perangkatnya, dan yang dipimpin dengan segala lapisannya. Dan unsur pemimpin harus ada, bagaimanapun keadaannya.
Dikatakan oleh orang-orang terdahulu, meskipun pemimpinnya jahat dan memerintah selama enam puluh tahun dengan kejahatan, itu masih lebih baik daripada sehari umat hidup tanpa seorang pemimpin.[1]
Masing-masing pemimpin dan yang dipimpin, supaya umat atau bangsa dapat merasakan hidup aman dan sejahtera, harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
Dalam hal ini Allâh telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing dengan firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا﴿٥٨﴾يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qurân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisâ/4:58-59]
Menurut para Ulama, ayat pertama berkaitan dengan kewajiban pemimpin, yaitu harus menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila mengadili orang-orang yang dipimpin, harus mengadili dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkenaan dengan kewajiban orang-orang yang dipimpin, yaitu mereka harus mentaati perintah serta ketetapan pemimpin, selama perintah atau ketetapan itu bukan kemaksiatan. Apabila perintah atau ketetapan pemimpi adalah kemaksiatan, maka kemaksiatan itu tidak boleh di taati. Jika mereka memperselisihkan sesuatu, maka harus dikembalikan kepada Kitabullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Namun jika pemimpin tidak melaksanakan tugasnya dengan amanah dan tidak adil, maka umat tetap mentaati perintah pemimpin yang tidak berbentuk kemaksiatan. Sebab mentaati pemimpin termasuk ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya. Umat harus tetap menunaikan kewajiban mereka kepada pemimpin sebagaimana diperintahkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.[2]
Selanjutnya, pada kondisi tertentu, suatu bangsa akan mengalami kendala-kendala internal. Kondisi ini secara umum menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah terbagi menjadi 4 kondisi:
- Pertama : Kondisi prima, yaitu pada saat benteng keimanan umat (rakyat) serta ketahanan kekuasaan dalam keadaan kuat. Ini merupaan kondisi ideal. Sebab semuanya akan berjalan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.
- Kedua : Saat benteng keimanan umat serta ketahanan kekuasaan dalam keadaan lemah semuanya. Ini adalah kondisi paling parah dan paling berbahaya bagi bangsa; bagi pemimpin dan bagi umat yang dipimpin. Sebab jika hal itu terjadi maka kekacauan akan merajalela. Rakyat tidak memiliki keimanan hingga berbuat tanpa kendali syari’at, sedangkan kekuasaan tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan tindakan rakyat.
- Ketiga : Pada saat benteng keimanan rakyat lemah, tetapi ketahanan kekuasaan dalam keadaan kuat. Ini merupakan kondisi pertengahan. Sebab bila ketahanan kekuasaan kuat, maka hal itu secara lahiriah akan lebih baik bagi umat. Jika kekuatan kekuasaan hilang pada kondisi ini, maka umat akan terpuruk dalam instabilitas dan kejahatan.
- Keempat : Ketika ketahanan keimanan rakyat kuat, tetapi kekuatan kekuasaan dalam keadaan lemah, maka kondisi secara lahiriah lebih rendah daripada kondisi ketiga. Tetapi dalam hubungan antar seorang manusia dengan Allâh, akan lebih baik dan lebih sempurna daripada kondisi ketiga.[3]
Dengan demikian jika kondisi prima, paling ideal dan paling sempurna suatu bangsa tidak dapat dicapai secara utuh, maka tidak berarti mengabaikan sisi-sisi tertentu, misalnya membangun keimanan umat kepada Allâh Azza wa Jalla , supaya tindakan umat yang dipimpin dapat membantu terciptanya kondisi negeri yang lebih baik.
Artinya, jika kondisi suatu negeri tidak memiliki wibawa penuh karena kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang yang kurang memiliki ketaqwaan, maka paling tidak harus tercipta kondisi masyarakat yang beriman. Dan itu adalah tugas para da’i dan orang-orang ‘âlim dalam ilmu-ilmu syar’i untuk membawa masyarakat kembali pada ajaran Islam yang benar. Dengan memahami ajaran Islam yang benar, mereka akan tetap berusaha menjaga kewibawaan para pengendali dan penguasa negeri, serta mentaatinya dalam hal-hal yang tidak menyimpang dari syari’at. Masyarakat tidak berebut adu suara keras melakukan kritik-kritik bebas, baik melalui media cetak, media elektronik, situs-situs internet, unjuk rasa maupun mimbar-mimbar yang sebenarnya justeru tidak banyak memecahkan masalah. Keimanan yang benar kepada Allâh akan mencegah masyarakat melakukan tindakan yang kontra produktif.
Meskipun negeri tidak berada pada puncak Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafûr (negeri yang gemah ripah, adil, makmur dan selalu dalam naungan ampunan Allâh) tetapi paling tidak, tetap tidak keluar dari lingkaran keamanan dan kesejahteraan, karena warganya adalah warga yang beriman, mengerti hak-hak serta kewajibannya dan tidak pernah menuntut apa yang bukan haknya. Tidak menjadi negeri yang penduduknya suka main hakim sendiri, tanpa sopan santun, tanpa syukur ni’mat yang justeru menyebabkan negeri menjadi makin kacau. Nasalullâha at-Taufîq.
_______
Footnote :
- Ibnu Taimiyah, Syaikhu al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyah Fi Ishlahi ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, (Daar al-Kaatib al-‘Arabi, tanpa tahun), hlm. 170.
- Ibid. hlm. 7.
- Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-‘Utsaimîn, Syaikh, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl. I’dâd: Fahd bin Nâshir as-Sulaimân, Dâr ats-Tsurayyâ, cet. I, 1414 H/1994 M . hlm. 154-155.
- Disadur dengan sedikit perubahan dari buku Pendidikan Islam, Basis Strategis Bagi Pembangunan Umat, Ahmas Faiz Asifuddin, Penerbit Naashirussunnah, Desember 2012/Muharram 1434 H. hlm. 69-72
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1434H/2013M ]