Disusun Oleh Ahmas Faiz bin Asifuddin
Sebelum menjawab judul di atas, alangkah baiknya menjawab pertanyaan berikut,
“Mungkinkah Allah dapat dilihat dalam kehidupan dunia ini?
Jawabannya, “Mungkin.”
Mengapa? Sebab tidak mungkin Nabiyullah Musa akan neminta kepada Allah permintaan agar dapat melihatNya, bila hal itu suatu kemustahilan. Meskipun kemudian Allah menjawab Musa tidak akan melihatNya (di dunia).
Allah berfirman mengisahkan permintaan Musa tersebut dan jawabanNya,
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”
Segi pendalilan ayat di atas tentang kemungkinan Allah dapat dilihat di dunia ini, antara lain ialah:
Pertama: Mustahil bagi Musa –seorang Rasul Allah dan orang yang paling alim pada zamannya- meminta sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Kedua : Allah tidak mengingkari permintaan Musa (yaitu permintaan agar Allah menampakkan diri kepadanya). Allah hanya menjawab,
لَنْ تَرَانِيْ
Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihatKu
Jawaban yang menunjukkan tentang kemungkinan Allah dapat dilihat, namun Musa tidak akan sanggup melihatNya. Allah tidak menjawab, “Saya tidak bisa dilihat”.
Bandingkan dengan pengingkaran Allah kepada Nabi Nuh ketika meminta sesuatu yang tidak semestinya, yaitu meminta agar anaknya yang kafir (tidak mau beriman kepada Nuh) diampuniNya. Pada kasus ini Allah a mengingkari permintaan Nuh dengan berfirman,
إِنِّيْ أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الَجاهِلِيْنَ
Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang bodoh. (QS Hud: 46).
Dan pengingkaran itu tidak dilakukan kepada Musa
Ketiga. Ternyata Allah menampakkan diri kepada gunung, meskipun gunung tersebut menjadi luluh lantak karenanya. Namun jelas bahwa, Allah menampakkan diri kepada gunung. Jika kepada benda-benda mati saja Allah memungkinkan menampakkan diri, apalagi jika kepada para RasulNya, makhluk-makhlukNya yang mulia. Hanya karena kelemahan manusialah, maka Allah tidak menampakkan diri kepada mereka. Tetapi bukan berarti hal itu tidak mungkin jika Allah menghendaki.
Keempat Dan alasan-alasan lain.
Berkaitan dengan alasan di atas dapat dilihat keterangan Imam Ibnu Abi Al Izz dalam Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah halaman 197 dan halaman 191-192, 1 ,2
Sungguhpun demikian, para ulama tidak berselisih pendapat tentang tidak adanya seseorangpun di dunia yang melihat Allah dengan mata kepala sendiri, kecuali Nabi Mereka memperselisihkannya.” 3
NABI MELIHAT ALLAH?
Jika ditanyakan, apakah mungkin Nabi melihat Allah dengan mata kepala beliau sendiri? Berdasarkan keterangan di muka, jawabannya, “Mungkin.”
Tetapi betulkah beliau melihat Allah saat bermi’raj?
Tentang hal ini, telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat.
Ada pendapat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas , bahwa Nabi melihat Rabb dengan mata kepala sendiri. (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At Tauhid. Lihat Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah halaman 197)
Sementara menurut Atha yang riwayatnya juga disandarkan kepada Ibnu Abbas ,bahwa Nabi melihat Allah dengan mata hatinya,
Di sisi lain A’isyah menentang keras bila dikatakan, bahwa Nabi melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri 4
Dalam hadits muttafaq alaih. dari Masruq, ketika bertanya kepada A’isyah , ia menjawab,
سُبْحَانَ اللَّهِ، لَقَدْ قَفَّ شَعْرِي مِمَّا قُلْتَ. مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم رَأَي رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ
Subhanallah, sungguh-sungguh bulu kudukku meremang mendengar apa yang kamu katakana, Barangsiapa yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad melihat RabbNya, maka sesungguhnya ia dusta.
(Riwayat gabungan dari Shahih Bukhari/ Fathul Bari XIII/361 no. 7380 dan Muslim Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha III/13 no. 440. Lihat pula Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah dan catatan kaki Syeikh Al Albani as halaman 196)
Ada riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas ó tentang firman Allah
وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ
Dan Kami tidak menjadikan penglihatan terhadap hal-hal) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia. (QS Al Isra’: 60).
Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksudkan ialah penglihatan dengan mata kepala terhadap hal-hal yang telah ditunjukan oleh Allah pada malam isra’.” (Shahih Bukhari/Fathul Bari VIII/398, hadits no. 4716)
Ibnu Hajr s menjelaskan, riwayat Ibnu Abbas tersebut tidak secara tegas menerangkan apa yang dilihat oleh Nabi dengan mata kepala beliau. Selanjutnya Ibnu Hajar menjelaskan lagi, dengan menukil riwayat dari Sa’id bin Manshur dari jalan Abu Malik, “Yang dimaksudkannya ialah segala apa yang diperlihatkan kepada Nabi dalam perjalanannya ke Baitul Maqdis.5 Riwayat ini tidak secara tegas menerangkan, bahwa Ibnu Abbas berpendapat, Nabi melihat Allah dengan mata kepala beliau.
Pada sisi lain, riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu Abbas berpendapat, Nabi melihat Allah dengan mata kepala beliau sendiri (terdapat pada riwayat Ibnu Khuzaimah), dinyatakan dha’if oleh Al Allamah Al Albani 6
Yang justeru shahih ialah riwayat ‘Atha’ dari Ibnu Abbas , bahwa Nabi melihat Allah dengan mata hatinya “. 7
PENDAPAT YANG KUAT
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim a tampaknya cenderung memihak pada pendapat yang menyatakan, Nabi melihat Rabbnya dengan mata kepala beliau sendiri pada malam isra’. Beliau cenderung membenarkan riwayat Ibnu Abbas tentang Nabi melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri
Sedangkan riwayat A’isyah , menurut beliau hanya ijtihad pribadi belaka, bukan berasal dari Nabi Sementara Ibnu Abbas sebagai penerjemah ulung Al Qur’an, dianggapnya tidak mungkin berbicara tanpa ada sandaran riwayat dari Nabi st
Tetapi pendapat Imam Nawawi di atas terbantahkan dengan beberapa keterangan sebelumnya. Ibnu Abi Al Izz, Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Al Qayyim menguatkan pendapat, Nabi tidak melihat Rabbnya pada malam isra’ dengan mata kepala
Ibnu Abi Al Izz menukil pernyataan Al Qadhi ‘lyadh, “Sejumlah jama’ah ulama berpendapat seperti pernyataan A’isyah, dan itulah yang masyhur dari Ibnu Mas’ud .. 9
Bahkan Imam Ibnu Al Qayim dalam Zaad Al Ma’ad 10 menukil cerita Utsman bin Sa’id Ad Darimi yang menyatakan adanya kesepakatan para sahabat, bahwa Nabi tidak melihat Allah.
Pada kitab yang sama, Imam Ibnu Al Qayyim juga menukil pernyataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah , “Perkataan Ibnu Abbas , bahwa Nabi melihatNya.” Begitu pula perkataannya, “Nabi melihatNya dengan mata hatinya”, tidak bertentangan dengan ini (Nabi tidak melihatNya dengan mata kepala). Sebab memang ada riwayat yang shahih, bahwa Nabi bersabda,
رَأَيْتُ رَبِّيْ تَبَارَكَ وَتَعَاليَ
Aku melihat Rabbku Tabaraka wa Ta’ala
(Hadits yang merupakan cuplikan dari hadits shahih yang panjang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas, juga dari Mu’adz bin Jabal, 11
Tetapi hal itu terjadi di luar isra’. Yaitu pada suatu hari di Madinah, ketika beliau terlambat mengimami shalat subuh. Lalu beliau menceritakan kepada mereka, bahwa pada malam harinya beliau bermimpi melihat Allah Dari sanalah Imam Ahmad kemudian mengatakan, “Ya, Nabi memang benar benar pemah melihat Allah. Sebab mimpi para nabi pasti benar ” Namun Imam Ahmad tidak pemah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi melihat Allah dengan mata kepala beliau dalam keadaan bangun…12
Artinya, bisa saja maksud Ibnu Abbas -jika riwayat itu benar-, bahwa Nabi melihat Allah dalam keadaan mimpi.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan pendapat yang kuat, bahwasannya Nabi tidak melihat Rabbnya pada malam isra’ dengan mata kepala beliau.
Apalagi ternyata terdapat riwayat shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya, sesungguhnya Abu Dzar pernah bertanya kepada Rasulullah . Beliau menjawab,
نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ ؟
Hanya cahaya. Bagaimana mungkin aku dapat melihat Allah?. 13)
Jadi yang beliau lihat hanyalah cahaya yang menghalangi antara dirinya dengan Allah. Wallahu a’lam.
Majalah As-Sunnah Edisi 6/VI/1423H/2002M
Footnote:
1) Tahqiq Jama’ah Min Al Ulama, Takhrij Syeikh Al Albani, Cet. IX-1408 H/1988 M AI Maktab Al Islami) dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim III/8-9.
2) Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar Al Ma’rifah
3) Lihat Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah halaman 196
4) Lihat Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah halaman 196, juga Zaadal Ma’ad III/33, Cet. III-1421 H/2000, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna’uth
5) Lihat Fathul Bari VIII/398
6) Lihat catatan kaki Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah hal. 197
7) Lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi III/8, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha
8) Lihat juz III/9-10 tahqiq Khalil Ma’mun Syiha
9) Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah hal. 196
10) Juz III /33
11) Lihat Zaad Al Ma’ad, catatan kaki Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arna’uth III/33-34
12) Lihat Zaad Al Ma’ad, Tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arra’uth III/33-34 dengan ringkas dan Bahasa bebas
13) Syarh Nawawi tahqiq Khalil Ma’mun Syiha III/15 no.442 dan juga no. 443