MAJALAHASSUNNAH.NET |Syaikh Muhammad bis Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya,
Beliau rahimahullah menjawab, “Udhhiyyah (hewan kurban) adalah hewan yang disembelih oleh seseorang dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla pada hari raya Idul ‘Adha dan tiga hari setelahnya. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah yang paling afdhal (terbaik). Karena Allah Azza wa Jalla menyebutkannya beriringan setelah perintah shalat dalam firman-Nya,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” [al-Kautsar/108:1- 2]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh).’” [al-An’am/6:162-163]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berkurban dengan dua hewan, satu atas nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelurga dan yang satu lagi atas nama semua umat beliau yang beriman.[1] Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi dan menyemangati umatnya agar melakukan ibadah ini.
Para Ulama, mengenai apakah ibadah kurban itu wajib ataukah tidak, terbagi menjadi dua pendapat.[2] Diantara para Ulama, ada yang mengatakan bahwa ibadah kurban ini hukumnya wajib bagi yang mampu, karena ada perintah (dari Allâh) untuk melakukannya dalam al-Qur’an. Yaitu dalam firman Allah Azza wa Jalla,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.” [al-Kautsar/108:1-2]
Juga berdasarkan perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada orang yang melakukannya sebelum shalat ‘Id agar dia menyembelih hewan kurban lagi setelah shalat.[3] Juga berdasarkan riwayat,
مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa memiliki kemampuan tapi dia tidak melakukan ibadah kurban, maka janganlah dia mendekati masjid kami.”[4]
Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah ini. Hendaklah dia berkurban dengan satu hewan (kambing) atas nama dia dan keluarganya. Dan tidak sah dua orang atau lebih bersekutu dalam kepemilikan seekor kambing kurban. Sedangkan pada sapi atau unta, maka itu boleh ada tujuh orang bersekutu dalam kepemilikannya. Sekali lagi, ini dalam kepemilikan. Adapun bersekutu dalam pahala, maka tidak apa-apa seseorang berkurban dengan satu kambing atas nama dirinya dan keluarganya, meskipun jumlahnya banyak. Bahkan dia boleh berkurban atas nama dirinya dan seluruh Ulama Islam atau yang serupa dengan itu, (misalnya) atas nama banyak orang sampai tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah Azza wa Jalla.
Catatan: Disini, saya merasa perlu mengingatkan satu hal yang sering dilakukan oleh umat dengan keyakinan bahwa ibadah kurban itu dilakukan khusus atas nama orang-orang yang sudah mati. Sampai-sampai jika mereka ditanya, “Sudahkah kamu melakukan ibadah kurban atas nama dirimu?” Maka dia akan menjawab, “Apakah saya melaksanakan ibadah kurban, padahal saya masih hidup?!” Dia mengingkarinya.
Sepantasnya untuk diketahui bahwa ibadah kurban itu disyari’atkan bagi kaum Muslimin yang masih hidup. Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah khusus yang merupakan kewajiban orang yang masih hidup. Oleh karena itu tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah kurban atas nama keluarga dekat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah meninggal, tidak pula atas nama istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berkurban atas nama Khadijah Radhiyallahu anha, istri pertama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak atas nama Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu anha, istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meninggal tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam nikahi, juga tidak berkurban atas nama Hamzah bin Abdul Mutthalib, paman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang syahid dalam perang Uhud. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkurban atas nama dirinya dan semua keluarganya. Ini mencakup keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal.
Ada perbedaan antara mengkhusukan atau berdiri sendiri (istiqlal) dengan memasukkan (tabi’un). Artinya orang yang sudah meninggal bisa mendapatkan pahala ibadah kurban karena dia termasuk dalam lingkup keluarga orang yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya. Dan berniat atas nama keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Adapun melakukan ibadah kurban khusus atas nama orang yang sudah meninggal, maka sepengetahuan saya, perbuatan ini tidak ada dasarnya dalam sunnah. Sedangkan, jika orang yang sudah meniggal itu sudah berwasiat agar disembelihkan hewan kurban, maka ini harus dilaksanakan dalam rangka menunaikan wasiatnya. Semoga masalah ini bisa difahami.
Bahwasanya ibadah kurban itu hanya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, bukan bagi orang yang sudah meninggal. Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal hanya ada pada (dua keadaan yaitu) ikutan (artinya si mayyit termasuk anggota keluarga dari orang yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati-red) atau karena wasiat. Sedangkan selain dua itu, meskipun boleh, namun sebaiknya tidak melakukan hal itu.
(Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 25/21-23)
Footnote ____________
[1] HR. Ahmad 6/391 dan Ibnu Majah, no. 3122
[2] Dalam fatwa yang lain, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan pilihan beliau yaitu sunnah mu’akkadah
[3] HR. Bukhari, Kitâbul Adhâhi, Bâb Man Dzabaha Qablas Shalâti fal Yu’id (no. 5561) dan Muslim dalam Kitâbul Adhâhi, Bâbu Waqtiha (no. 1960) [4] HR. Ahmad 2/321 dan Ibnu Mâjah, Kitâbul Adhâhi, Bâbul Adhai Wajibah Hiya am La? (no. 3123) dan al-Hakim (2/389) dan beliau rahimahullah menilainya sebagai hadits shahih.