Perintah untuk saling menolong dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan

oleh -2666 Dilihat
oleh
Perintah untuk saling menolong dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan

﴿ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ ٢ ﴾

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Qs al-Mâidah/5:2)

PENJELASAN AYAT

Makna al-birru (  البِرُّ) dan at-taqwa (التَّقْوَى  )

Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat. Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.

Secara sederhana, al-birru (البِرُّ  ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله mendefinisikan bahwa al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.1

Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa’di رحمه الله mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah سبحانه وتعالى cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhâhir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah سبحانه وتعالى atau hak sesama manusia.2

Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan.

Allah سبحانه وتعالى telah menghimpun ragam al-birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut:

﴿ ۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ ١٧٧ ﴾

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Qs al-Baqarah/2:177)

Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.

Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di penghujung ayat, Allah سبحانه وتعالى menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqîn).

Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah سبحانه وتعالى dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.

Thalq bin Habîb t, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:” Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:” Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah سبحانه وتعالى dengan dasar cahaya dari Allah سبحانه وتعالى dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah سبحانه وتعالى dan takut terhadap siksa-Nya”.

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله memuji keterangan di atas dengan mengatakan3 : Ini merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir. Satu amalan tidaklah dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan pujian dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah سبحانه وتعالى serta mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan seperti contoh berikut:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang telah lewat. (HR. al-Bukhâri Muslim).

Faedah:

Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan (al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48)

Makna al-itsmu ( إِثْمُ   ) dan al-’udwân (  العُدْوَانُ)

Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah سبحانه وتعالى , yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.

Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.

Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.

Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).

Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah سبحانه وتعالى , seperti melampaui batas ketentuan Allah سبحانه وتعالى dalam pernikahan seperti : memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.

Dan kedua: tindakan melampaui batas terhadap sesama. Contohnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya.4

URGENSI AYAT

Dalam ayat ini Allah سبحانه وتعالى memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dala perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan al-birr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia سبحانه وتعالى melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.5

Imam Ibnul Qayyim رحمه الله menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah سبحانه وتعالى dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.

Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah سبحانه وتعالى dan menjalankan ketaatan kepadaNya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.6

Al-Mâwardi رحمه الله berkata: Allah سبحانه وتعالى mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah سبحانه وتعالى . Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah سبحانه وتعالى dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.7

Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah ﷺ bersabda:

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوْا يَارَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُوْمًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخَذُ فَوْقَ يَدَيْهِ.

Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” (HR. al-Bukhâri)

Dalam hadits lain, beliau ﷺ bersabda:

الدَّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ

Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. (HR. Muslim)

Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal. 8

Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.9

Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya. 10

Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan. 11

PENUTUP

Dengan jelas, ayat di atas memuat kewajiban saling membantu di antara kaum Mukminin untuk menegakkan agama dan larangan bagi mereka untuk bekerjasama dalam menodainya. Bukan sebaliknya yaitu malahan melemahkan semangat beramal orang, mengejek orang yang berusaha konsisten dengan syariat maupun menjadi dalang tersebarnya perbuatan maksiat di tengah masyarakat. Wallâhu a’lam.

 

Footnote:

1 ar-Risâlah at-Tabûkiyyah, Ibnul Qayyim, tahqîq Salîm al-Hilâli, Dâr Ibni Hazm, Cet. I, Thn. 1419H, hlm. 37

2 Taisîrul Karîmir Rahmân, ‘Abdur Rahmân as-Sa’di, Muassasah Risâlah Cet. V, Thn. 1417H, hlm. 182

3 ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 45

4 ibid hlm. 53-56

5 Tafsîrul Qur‘ânil ‘Azhîm (3/12-13)

6 ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 30

7 Tafsîr al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân), Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H, Vol. 6, hlm. 45

8 Tafsîr al-Qurthûbi (6/45), Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 182

9 ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57

10 Ibid hlm. 57

11 ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57

 

____________________________________________________________________________

Majalah As-Sunnah I Edisi 05/THN. XIII/SYA’BAN 1430H/AGUSTUS 2009M

Tentang Penulis: Redaksi

Majalah As-Sunnah adalah majalah dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang terbit setiap awal bulan, insyaallah. Menyajikan materi – materi ilmiah berdasarkan pemahaman para salafush sholih, dari narasumber dan referensi yang terpercaya. Majalah As-Sunnah, pas dan pantas menjadi media kajian ilmiah keislaman Anda!