NIYÂHAH, DOSA BESAR WARISAN JAHILIYAH

oleh -1268 Dilihat
oleh

Disusun Oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Allâh wa Ta’ala telah memberikan kepada seluruh makhluk, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Hanya Allâh Yang Maha Hidup, tidak akan mati.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. [Ali Imrân/3:185]

Kekuasaan Allâh meliputi segala sesuatu. Dia telah menetapkan adanya kematian pada manusia, maka bagaimanapun manusia menghindar dari kematian, kematian itu tetap akan menyusulnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An-Nisa’/4:78].

Oleh karena itu setiap kita pasti pernah ditinggal mati oleh orang yang kita kenal atau kita cintai, baik itu kakek, nenek, ayah, ibu, saudara, tetangga, kawan, atau lainnya. Dan kewajiban orang yang mendapatkan musibah adalah sabar dan tabah, tidak berkeluh kesah, bahkan pasrah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha memiliki hikmah.

LARANGAN NIYÂHAH

Termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah ketika mengalami musibah ditinggal mati oleh orang yang dicintai adalah niyâhah. Dan niyahah ini adalah dosa besar.

Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ

“Ada empat perkara jahiliyah pada umatku, mereka tidak akan meninggalkannya: Membanggakan kemuliaan orang tua, mencela nasab (garis keturunan), menganggap turunnya hujan dengan munculnya bintang tertentu, dan niyâhah (meratap).” [HR.Muslim, no. 934]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Umat (Islam) sepakat keharaman niyâhah terhadap mayit, berteriak dengan teriakan jahiliyah, dan berteriak dengan kecelakaan di saat musibah”. [Al-Adzkar, hlm. 146, karya An-Nawawi, tahqiq: Al-Arnauth]

MAKNA NIYÂHAH

Niyâhah saat musibah kematian merupakan dosa besar, kemudian apa arti niyâhah?
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa niyâhah adalah mengeraskan suara dengan menghitung-hitung kebaikan-kebaikan mayit. Ada juga yang mengatakan, niyâhah adalah menangis dengan menghitung-hitung kebaikan-kebaikan mayit. Para sahabat kami (yaitu para ulama Syafi’iyyah-pen) mengatakan, haram hukumnya mengeraskan suara dengan menangis secara berlebihan, adapun menangisi mayit dengan tanpa menghitung-hitung kebaikan-kebaikan mayit, dan tanpa mengeraskan suara maka tidak haram”. [Al-Adzkar, hlm. 147, karya An-Nawawi, tahqiq: al-Arnauth]

Di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 42/49, disebutkan. “Niyâhah adalah tangisan dengan suara keras”.

Selanjutnya dijelaskan, “Di dalam istilah (syari’at) ungkapan para ahli fiqih tentang pengertian niyâhah berbeda-beda:

Hanafiyyah menyatakan bahwa niyâhah adalah: tangisan yang disertai  menghitung-hitung kebaikan-kebaikan mayit.  Ada juga yang mengatakan, niyâhah adalah tangisan yang disertai  suara.
Kesimpulan pembiacaraan ulama Malikiyah bahwa niyâhah adalah tangisan yang disertai  dengan satu dari dua perkara: teriakan atau perkataan yang tidak baik.

Kebanyakan ahli fiqih Syafi’iyyah dan sebagian ulama Malikiyah menyatakan bahwa niyâhah adalah mengeraskan suara dengan menghitung-hitung kebaikan-kebaikan mayit, walaupun tanpa menangis. Ada yang mengatakan: disertai dengan menangis.

Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa niyâhah adalah mengeraskan suara dengan menghitung-hitung kebaikan-kebaikan mayit dengan jeritan atau perkataan bersajak”. [Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 42/49]

BAHAYA NIYÂHAH

Sesuatu yang dilarang oleh agama pasti banyak keburukan dan bahaya. Adapun bahaya dan keburukan niyâhah antara lain sebagai berikut:

  1. Termasuk Kufur Ashghar.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada dua perkara pada manusia yang menyebabkan mereka kufur yaitu mencela nasab dan niyahah terhadap mayit.” [HR. Muslim no. 67]

Maksud kufur di sini adalah kufur ashghar, kufur kecil, yakni kufur yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

  1. Tidak Termasuk Pengikut Nabi Yang Baik

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ»

Dari Abdullah (bin Mas‘ud) Radhiyallahu anhu , dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, merobek juyuub, dan berteriak dengan teriakan  jahiliyah (yakni ketika ditimpa musibah kematian–pen).” [HR. Al-Bukhari no. 1294; Muslim no. 103]

Syaikh Mushthafa Bugha menjelaskan: “Sabda Nabi “Tidak termasuk golongan kami”, yaitu tidak termasuk pengikut agama kami yang mengikuti petunjuk kami, “menampar” yaitu memukul wajah dengan telapak tangan bagian dalam, “juyuub” jama’ dari jaib, yaitu belahan baju sebelah atas untuk memasukkan kepala, yang dimaksud merobek baju secara umum, “teriakan  jahiliyah”, yaitu di dalam tangisannya dan jeritannya berteriak dengan teriakan yang biasa diucapkan oleh orang-orang jahiliyah, seperti: “Wahai sandaran kami!”, “Wahai kekuatan kami!”, dan ungkapan semacamnya”. [Catatan kaki, Shahih al-Bukhari, no. 1294]

  1. Nabi Berlepas Diri

Abu Burdah bin Abu Musa berkata:

وَجِعَ أَبُو مُوسَى وَجَعًا فَغُشِيَ عَلَيْهِ، وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِ امْرَأَةٍ مِنْ أَهْلِهِ فَصَاحَتِ امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِهِ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهَا شَيْئًا، فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ: أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ»

Abu Musa pernah menderita sakit parah hingga ia pingsan, saat itu kepalanya berada di pangkuan salah seorang wanita dari kalangan keluarganya. Seorang wanita dari kalangan keluarganya menjerit, tetapi Abu Musa tidak mampu membantahnya. Ketika Abu Musa telah sadar,  dia berkata: “Aku berlepas diri terhadap apa yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari wanita yang berteriak, wanita yang mencukur rambutnya, dan wanita yang merobek pakaiannya (ketika terjadi musibah kematian).” [HR. Al- Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104]

  1. Dipakaikan Pakaian Tembaga Dan Kudis

Abu Malik Al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ»

Wanita yang melakukan niyâhah apabila tidak bertaubat sebelum meninggalnya, maka kelak di hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai pakaian dari tembaga dan pakaian dari kudis.” [HR. Muslim no. 934]

SEBAB LARANGAN NIYAHAH

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Wanita yang melakukan niyâhah mendapatkan adzab dan laknat karena dia memerintah berkeluh kesah dan melarang kesabaran. Padahal Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan bersabar dan mengharap pahala serta melarang keluh kesah dan murka (saat musibah), Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allâh beserta orang-orang yang sabar. ( Al-Baqarah/2: 153)”. [Al-Kaba`ir, hal. 185]

Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepada kita syukur ketika mendapatkan nikmat, dan kesabaran ketika mengalami musibah. Wallahul Musta’an.

[majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XXI/1439H/2018M ]