Pemerintah Dzalim, Bagaimana Sikap Rakyat?

oleh -1036 Dilihat
oleh

MAJALAH ASSUNNAH.NET | Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut, guna menjelaskan kebenaran yang diperselisihkan.

Jawaban ini disarikan dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa salam , dan fiqih pemahaman imam-imam pembawa petunjuk terhadap nash-nash keduanya, sebagai pengamalan firman Allâh ta’ala,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً

 

”Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’/4: 59)

Kewajiban penulis untuk tidak menyembunyikan nash dalil yang menyelisihi pendapatnya, sedangkan kewajiban pembaca menerima dengan ridha dan tenang terhadap dalil:

1. Hak Penguasa yang Menjadi Kewajiban Rakyat

Rakyat berkewajiban mentaati pemerintah dalam perkara yang bukan maksiat, mendoakan kebaikan untuknya dan memiliki ketulusan terhadapnya.

Allâh ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. an-Nisâ’/4: 59)

Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda.

مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

”Barangsiapa keluar dari ketaatan (penguasa -pen) dan memisahkan diri dari Jama’ah (umat Islam yang dipimpin penguasa -pen) lalu dia mati, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda,

الدِّينُ النَّصِيحَةُ …  لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ 

”Agama adalah ketulusan untuk Allah, kitabNya, Rasul-Nya, penguasa-penguasa umat Islam, dan orang-orang umum mereka (rakyat).” (HR. Muslim)

Dan termasuk ketulusan  untuk penguasa-penguasa umat Islam semua adalah mendoakan kebaikan untuk penguasa agar diberi kebaikan, taufik (bimbingan), dan hidayah (petunjuk).

Ketika penguasa di zaman Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullahu disebut-sebut dan dicela, Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu berkata,

إِنِّي لَأَدْعُوْ لَهُ بِالصَّلاَحِ وَالْعَافِيَةِ، لَئِنْ حَدَثَ بِهِ حَدَثٌ لَتَنْظُرَنَّ مَا يَحِلُّ بِالإِسْلاَمِ

”Sesungguhnya aku mendoakan untuk penguasa agar diberi kebaikan dan ‘afiyah (keselamatan). Jika terjadi persitiwa seperti pemberontakan, pembunuhan, atau semacamnya pada penguasa, kamu benar-benar akan melihat apa (yakni keburukan) yang akan menimpa Islam.” (Kitab as-Sunnah karya al-Khallâl, hlm. 84)

Imam al Barbahâri Rahimahullahu berkata,

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلُ يَدْعُوْ عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوَى، وَإِذَا سَمِعْتَهُ يَدْعُوْ لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلاَحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ، فَأُمِرْنَا أَنْ نَدْعُوَ لَهُمْ وَلَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نَدْعُوَ عَلَيْهِمْ وَإِنْ جَارُوْا وَظَلَمُوْا، لِأَنَّ جَوْرَهُمْ عَلىَ أَنْفُسِهِمْ، وَصِلاَحِهِمْ لِأَنْفُسِهِم وَلِلْمُسْلِمِيْنِ 

”Jika engkau melihat seseorang mendoakan kecelakaan kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut hawa nafsu. Jika engkau mendengarnya mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut Sunnah.”

“Kita ini diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka (penguasa) dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan buat mereka, walaupun mereka menyimpang dan berbuat zhalim. Karena penyimpangan mereka menimpa mereka sendiri, sedangkan kebaikan mereka adalah untuk mereka dan kaum Muslimin.” (Syarhus Sunnah, hlm. 15)

2. Hak Rakyat yang Menjadi Kewajiban bagi Penguasa

Bersikap tulus kepada rakyatnya,

  • Pertama : Dalam perkara-perkara agama
  • Kedua : Dalam perkara-perkara dunia.

Dengan cara menyebarkan aqidah yang benar dan Sunnah ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, lewat ta’lim pengajaran, hukum, dakwah menuju agama Allâh ta’ala berdasarkan ilmu, dan melarang bid’ah-bid’ah.

Yang terbesar dari bid’ah yang harus dilarang adalah membangun masjid-masjid di dekat kuburan-kuburan yang disembah, tempat-tempat yang dianggap keramat atau membawa berkah,  masyâhid yaitu tempat-tempat yang dianggap peninggalan orang-orang shalih, dan semacamnya, dan tempat-tempat yang diziarahi.

Dan bid’ah-bid’ah selainnya yang berupa tempat-tempat terpencil untuk melakukan semedi dan semacamnya, dan semua bid’ah-bid’ah di dalam ibadah.

Rakyat juga memiliki hak-hak lain yang menjadi kewajiban bagi penguasa, yaitu hak-hak untuk mendapatkan perlakuan baik dan perhatian. Penguasa tidak memberikan beban yang tidak mampu mereka lakukan. Penguasa memenuhi pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan kehidupan sesuai dengan kemampuannya. Dan agar penguasa menjadi teladan yang baik di dalam perkara agama dan dunia.

Allah ta’ala berfirman,

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. al-Mâidah/5:49)

Rasâlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ 

”Tidak ada seorang hamba yang Allâh memberikan kekuasaan kepadanya mengurusi rakyat, pada hari dia mati itu dia menipu rakyatnya, kecuali Allâh haramkan surga atasnya.” (HR. Muslim)

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 

”Setiap kamu adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

3. Inilah Jawaban Pertanyaan di Atas, bagi Orang yang Mau Menerima Hukum Allâh dalam Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya

Kewajiban rakyat adalah mentaati penguasa walaupun dia berbuat kezhaliman dan penyimpangan, walaupun dia berbuat kefasikan dan kemaksiatan, kecuali jika dia memerintahkan maksiat, maka tidak ada  ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khâlik.

Rasûlullâh Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ 

”Kewajibanmu mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam keadaan engkau susah atau mudah, engkau suka atau engkau membencinya, dan mementingkan penguasa atau dirimu.” (HR. Muslim)

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda,

إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِى أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا  قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِى عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِى لَكُمْ 

”Sesungguhnya setelahku akan terjadi monopoli hak dan perkara-perkara pada penguasa yang kamu akan mengingkarinya. Para sahabat bertanya, ‘Apakah yang Anda perintahkan kepada orang di antara kami yang mendapati hal itu?’ Beliau menjawab, “Kamu tunaikan kewajibanmu dan kamu meminta hakmu kepada Allâh.’” (Muttafaq ‘alaihi)

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda,

مَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى

”Barangsiapa mentaati amir (penguasa), maka dia telah mentaati aku. Dan barangsiapa memaksiati amir (penguasa), maka dia telah memaksiati aku.” (Muttafaq ‘alaihi)

Bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي (وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ) قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan ada penguasa-penguasa setelahku, mereka tidak mengikuti petunjukku, tidak melaksanakan sunnahku, (akan ada di atara mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati setan berada di dalam jasad manusia)”. Hudzaifah bertanya, ‘Jika aku menemui hal itu, maka bagaimana yang akan aku lakukan wahai Rasûlullâh?’ Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Dengarlah dan taatilah pemimpin, walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu, namun tetap  dengarlah dan taatilah.'” (HR. Muslim)

(NB. Kalimat di dalam kurung tidak ada di dalam makalah Syaikh, tetapi ada di dalam hadits )

Bahkan beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda,

كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا. قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ : صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ 

”Bagaimana engkau (wahai Abu Dzarr), jika engkau dipimpin oleh para amir (penguasa) yang mengakhirkan shalat dari waktunya atau mematikan shalat dari waktunya)? Aku (Abu Dzarr) menjawab, ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Beliau bersabda, ‘Shalatlah pada waktunya, jika engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah, sesungguhnya itu (shalat) nafilah (sunnah/tambahan) bagimu.'” (HR. Muslim)

Dengan munculnya kemaksiatan-kemaksiatan yang berupa syirik dan lainnya di kalangan kaum Muslimin di zaman ini, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh, kemaksiatan-kemaksiatan itu tidak diperintahkan untuk dilakukan. Seandainya hal itu terjadi yaitu kemaksiatan-kemaistan yang ada itu diperintahkan oleh penguasa, penguasa tetap ditaati dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allâh, dan penguasa tidak ditaati dalam perkara yang merupakan kemaksiatan kepada Allâh, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu , salah satu perawi hadits tentang hal itu.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam dan keluarganya serta para sahabatnya.


Ditulis Oleh SYAIKH SA’AD AL-HUSHAYYIN

Diterjemahkan oleh Ustadz Muslim Abu Isma’il al-Atsari dari tulisan syaikh Sa’ad al-Hushayyin hafizhahullah yang berjudul ‘Madzâ Taf’alu ar-Ra’iyyatu bil Hâkim azh-Zhâlim wal Fâsiq wal Fâjir’; diambil dari ‘Mauqi’  Asy-Syaikh Sa’ad Al-Hushayyin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.